Senin, 17 Februari 2014

HELLO GOODBYE

     HIDUP TAK ADA YANG ABADI

    Seperti roti tawar keluaran pabrik, perhatikan tanggal kecil di tag pengikat plastiknya. Semua punya expired date alias tanggal kadaluwarsa.

            CINTA?

    KALAU sedang cinta-cintanya, rasanya hati pengin dikasih formalin, ditaruh didalam freezer, dalam kantong plastik tervakum. Pengin menjaga selama mungkin deg-degannya, pipi semu merah jambunya, rasa kupu-kupu beterbangannnya, dan kangennya.
    Tapi, cinta masa pacaran mana ada yang abadi. Cinta di perkawinan saja juga belum tentu jadi jaminan, masih ada selingkuhanya, masih ada kawin laginya, masih ada cerainya. Walau semestinya ada nggak ada cinta, perkawinan adalah masalah komitmen, masalah mengusahakan, masalah mau nggak mau tapi harius mau. Karena perkawinan bukan lagi urusan orang, ada anak-anak yang ikut jadi penumpang. Walau tetnu saja, pada akhirnya yang paling penting adalah kebahagiaan tiap-tiap yang ada didalamnya.

            PEKERJAAN?

    Pekerjaan adalah yang paling rentan diantara yang rentan. Anda bisa dipecat kapan saja. Satu hari jadi directur, hari berikutnya harus berujuang cari uang. Apalagi kalau pekerjaan di nilai sebagai bagian dari identitas diri, eksitensi diri, yang tanpanya kita sungguh bukan siapa-siapa, bukan apa-apa.
    Pekerjaan mungkin sumber ekonomi, apalagi jika satu-satunya sumber keuangan. Apalagi jika kebahagiaan disandarkan hanya dan hanya pada uang. Rasanya mau mati saja.


    Hidup? Pernah lihat film 90-an, Death Becomes Her? Film satir, dengan Bruce Willis sebagai dokter bedah plastik, Meryl Streep, dan Goldie Hawn. Dua aktris perempuan tadi dikisahkan meminum ramuan khusus awet muda yang sekaligus juga jadi ramuan awet hidup, tak bisa mati.
    Bayangkan asanya hidup tak bisa mati, padahal onderdil tubuh sudah berkarat, jebol, bahkan nggak mampu lagi berfungsi. Sementara jantung keras kepala, berdenyut terus. Hidup terlalu panjang umur mungkin tak terlalu menyenangkan. Anda akan mengalami terlalu banyak kehilangan. Mungkin ucapan selamat ulang tahun, semoga panjang umur patut direvisi jadi selamat ulang tahun, semoga cukup umur.
   
Mungkin sendikat Club 27, yang dikepalai Kurt Kobain, Jim Soe Hok Gie bisa jadi hal yang menarik. Mati muda, saat hidup sedang senang-senangnya, kondang-kondangnya.

    Tapi, sebuah akhir seharusnya dilepas dengan cara yang pantas. Sebuah perfect closure, akhir yang sempurna. Sebuah kisah cinta mungkin sebaiknya diakhiri dengan sebuah konsensus damai antara dua pihak.

    Jika sebuah pertemuan berhenti mewah, setidaknya kirimlah sebuah surat penyataan berhenti hubungan cinta. Setidaknya si mantan kekasih berhak mendapat semua penjelasan. Jangan lempar cinta sembunyi tangan. Jangan mau cintanya, putusnya lari tanpa tanggung jawab.
   
    Kalau urusan pekerjaan. Ya relakanlah. Keluarlah dari ruang kerja Anda dengan kepala tegak dan hati yang bangga. Ada rezeki ditempat baru, yang mana tahu lebih baik, lebih manfaat, lebih mufakat.

    Kalau soal hidup, jalani saja. Carpe diem. Seize the day. Anda tak pernah tahu apa yang akanh terjadi besok, bahkan satu jam ke depan. bahka satu menit atau satu detik ke depan. Jalani saja dengan bahagia yang maksimal. Spend the happiness, everyday. Tak perlu menahan-nahan rasa, terlalu takut-takut untuk merasa bahagia dan memperjuangkannya.
   
    Mending Anda sudah tahu rasanya bahagia yang maksimal daripada sibuk menduga-duga, mengira-ngira. Cintai dan pastikan orang yang Anda cinta tahu bahwa Anda mencintai mereka. Mana tahu, Anda atau mereka pergi lebih dahulu.
Seandainya saya punya kesempatan melepas orang-orang yang saya sayang dengan cara pantas, saya akan memastikan mereka tahu betapa mereka disayangi. Pastikan Anda tak "ditipu" nasib, dipecundangi, dicurangi, ditinggal pergi tanpa salam.

    Maka, ini akhir yang semestinya jadi awal. Selamat Senin! Apa kabar? Ini akan jadi Senin terakhi Halau Galau menyapa Anda.
Terima kasih untuk semua e-mail, semua RT, semua komentar, baik secara virtual maupun langsung, selama kurang lebih 21 bulan setia bersama. Membaca kegelisahan saya, yang mungkin juga jadi kegelisahan terdiam Anda. Sama-sama menyalakan lampu di hati dan otak masing-masing, saya dan Anda.
   
    Semoga segera ada jodoh ketemu lagi. Tapi, hidup seperti nasibnya, tak harus abadi. Ini bukan *Selamat Tinggal,"Ini adalah sebuah "Sampai Ketemu Lagi!(*) 

BERAGAMA KARENA MINDER

   Saya telihat diskusi seru dengan vokalis band rock hari itu. Awalnya,lagi-lagi adalah sebuah twit. Pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan dan ketuhanan selalu menarik untuk saya. Menurut saya nggak pernah ada habisnya, nggak pernah basi, sekaligus nggak pernah pasti. Serbarelatif dengan pintu-pintu kemungkinan selalu bisa dibuka-ditutup.

    saya pernah menulis sesuatu tentang sesuatu yang kurang lebih mirip sebelumnya di Halau Galau. Tentang apakah manusia tetap berbuat baik jika surga dan neraka ternyata tidak ada? Apakah manusia tetap berbuat baik tanpa pamrih? Apakah manusia tak akan berhitung untung-rugi? Apakah dunia lebih baik jika manusia tak di iming-imingi pahala? Atau, mungkinkah dunia jadi lebih kisruh karena semua oang cuma mementingkan diri sendiri dan nggak peduli pada kepentingan orang lain?
    Disekitar waktu yang sama dengan diskusi Twitter itu, saya meonton sebuah film komedi romantis karya sutradara Ricky Gervais.
Ceritanya sederhana, seorang lelaki biasa-biasa saja, mukanya biasa-biasa saja, dan dompetnya tak kalah biasa-biasa saja naksir pada gadis cantik. Sebagai lazimnya perempuan cantik, tentu si gadis pasang harga. Ternyata di Hollywood pun berlaku premis Jawa, "lanang menang milih, wedok menang nolak".
    Judul film itu mungkin bisa memberikan gambaran, The Invention of Lying. Di film yang dibuat pada 2009 tersebut dceritakan, seluruh warga sebuah kota jujur. Semua disampaikan blaka sutha, apa adanya, tanpa ditimbang-timbang, dipikir-pikir.
    Warga kota pun akhirnya kuat mental karena paling menyakitkan dikuping dan dihati. Sampai suatu hari, si lelaki, yang diceritakan sebagai pembuat film yang kepepet, tak sengaja berbohong. Ternyata berbohong membebaskan diri dari masalah dan membuat hidupnya lebih mudah. Nenek si lelaki bisa menghadapi kematianya dengan senyum lebar dan bebas ketakutan saat dia didongengi tentang keindahan surga. Otak saya tergelitik, bagaimana jika surga yang kita harap-harap cemaskan itu ternyata hanya dongeng?
    Kali ini saya meminta izin untuk sejenak melepaskan pembicaraan ini dari apa yang kita dengar dari kitab-kitab dan segala doktrinya. Saya ingin membebaskan diri dengan pertanyaan-pertanyaan "bagaimana seandainya". Kenapa sih saya beragama? Tentunya karna saya tak tahu rasanya tidak beragama.
    Apa sih gunanya saya beragama? Saya berpikir lama-lama. Dalam-dalam. Sungguh saya nggak punya jawaban tepat atau paling tidak mendekati memuaskan hati kecil saya sendiri. Mungkin karena takut. Tahu kan hebatnya clerical bullying?
Tindakan penekanan tersistem atas nama agama dan Tuhan, tentang benar-salah, lebih benar daripada yang lain, dan lain-lain ? yang beragama, tapi minoritas saja bisa hidup susah dan terlunta-lunta. Dibakari rumahnya, di rongrong rumah ibadahnya, dilempari ritualnya, apalagi yang memilih tidak beragama kan?
    Tapi, apa iya karena ketakutan saja? Saya timbang-timbang, mungkin karena saya takut, tapi jenis ketakutan yang berbeda. Saya beragama karena perlu tambahan percaya diri, saya ternyata nggak cukup percaya diri dengan kekuatan diri sendiri. Saya tenyata cukup minder kalau ternyata semua jalan hidup saya sepenuhnya ada di tangan saya sendiri.  Saya belum cukup pede menghadapi kenyataan bahwa ternyata saya yang mengontrol kehidupan ini dan menentukan tak ada kekuatan serbahebat, serbakuat, serbaajaib, yang bisa menyelamatkan saya.
    Seandainya surga dan neraka tidak pernah ada, apakah saya tetap beragama? Mungkin, ya. Hidup saya ini sederhana. Untuk saya yang hidup hanya untuk hari ini saja, yang sok carpe diem ini, yang lebih penting dipikirkan adalah yang terjadi hari ini, titik ini. Pilihan beragama saya lagi-lagi ya karena alasan praktis-praktis saja.
    Ternyata saya cuma mahkluk minder rendahan yang membutuhkan agama dan Tuhan. saya butuh diberi harapan, dititik paling jatu akan ada kekuatan untuk berdiri, di lubang paling gelap akan ada ujung cahaya. Saya memilih kalah dan percaya. (*)

SIM SULAMBIM

  Zaman instan. Dalam hitungan menit atau jam, semua beres. Termasuk, urusan kecantikan. Sim salabim, tinggal ke salon, bibir jadi merah merekah, alis tebal bagai semut beriring, dan ssst.. puting pun bisa instan jadi merah jambu.
 
  BEBERAPA hari bekerja dari rumah dan jeda di antara jam kerja saya manfaaatkan dengan sangat tidak bermanfaat: menonton infotainment.
  Dalam beberapa hari ini, saya paham betul fakta bahwa jepit jemuran sangat berjasa untuk pemancungan hidung Mpok Atik meski ternyata untuk mengangkat tambalan silikon itu, dia membutuhkan 16 kali operasi. Ada juga skuter, selebriti kurang terkenal, yang saya pun alpa namanya, yang jadi agen promosi terselubung salon sulam alis dan bibir kristal untuk kaparipurnaan penampilan. Tapi, halau saya hari ini khusus untuk urusan sulam-menyulam.
Saya pun mulai mengumpulkan info seputar"sim sulambim". Ini beberapa fakta yang saya dapatkan.
 
  -Harga berkisar Rp 600 ribu-Rp 4 juta untuk alis, sedangkan untuk bibir Rp 500 ribu-Rp 1,5 juta. Untuk hitungan rajah, ini mahal mengingat ukuran alis yang cuma seciprit. Ditukang tato konvensional, biasanya harga di hitung berdasar sentimeter bidang kulit. Eh, anda sepakat kan bahwa sulam adalah upaya pengimutan sekaligus manipulasi pasar untuk jenis tato arsir tipis di alis? Paling tidak secara alat dan teknologi yang digunakan. Tapi, hampir di semua salon yang yang saya survei, sulam dikerjakan tenaga ahli dalam negeri nondokter.

  -Untuk jenis alis, pilihanya bahkan lebih canggih daripada teknologi TV, mulai 2D,3D,hingga 6D, dengan warna yang belum full color, kecuali nekat. Yang membedakan adalah teknik dan alat. Semakin tinggi, semakin canggihlah kualitas alis Anda, semakin mahal juga. Tapi tak seperti TV atau bioskob, makin tinggi dimensi tak berarti alis Anda bisa mengeluarkan special effect seperti keluar-keluar dari foto atau efek gerak dan semprotan air.
Sulam alis sejatinya adalah tato alis 2.0. Dulu tato alis adalah jenis alis blok hitam berkesan galak dan palsu yang kelamaan berubah hijau (tolong janga bayangkan Hulk di sini). Dulu berlaku seumur hidup, sementara sekarang hanya bertahan rata-rata di 2-3 tahun. Tampaknya, pelaku kecantikan percaya premis dan ala lagu Peterpan, tak ada yang abadi. Untuk bibir, ada dua pilihan. Yakni, memerah jambu alami dengan aplikasi tinta warna herbal dari kembang-kembangan atau efek memerah basah sensual alami dengan gosokan kristal dan serbuk mutiara.

  -Aturan mainya terlarang untuk yang menstruasi dan diabetes. Bisa memerah, bengkak, dan kebas beberapa jam, juga berdarah di beberapa kasus. Jenis pantangan makan sejenis dengan pasien sunat; cabai, sapi, dan seafood selama sebulan. Tapi, syarat paling penting kantong yang waspada dan siap dirogoh kapan saja.
  Kemarin di mal saya berjumpa dengan tante-tante bersasak tinggi yang mengempit erat-erat Bikin bag-nya saat satu lift dengan pria bertato sepenuh lengan.
Matanya juga mendelik saat melihat gadis manis bertato kupu-kupu di punggung. Skeptis. Rasanya pengen kasih salam ke alisnya yang bersulam.
  Lalu tak lama, di salah satu milis ada seorang perempuan yang menjelekan satu salon penyedia servis sulam alis karena sudah 6D, eh tetap tidak kelihatan alami. Namanya juga bikinan, ya mbok terima nasib kalau cuma bisa mirip.
  Masih gara-gara infoainment, beberapa selebriti menolak mentah-mentah di dakwa cantik hasil permak, kata mereka semua asli dari sononya. Padahal, jelas-jelas bibir lebih sensual, alis menebal, hidung meramping meninggi, dagu mruncing tiba-tiba berbelah. Mbok kalau palsu ya palsu saja, nggak usah berlagak asli. malu sama mbak salon dan foto masa (jelek) dulu.
  Ya, ini kritik tebuka untuk para pelaku sim salabim. Semoga walau luarnya palsu, yang dalam-dalam tetap asli. Haish, hatinya!!! (*)

MANAJEMEN DOSA

   TULISAN ini nggak orisinil-orisinil amat karena terinspirasi tulisan seseorang dimedia alternatif berbasis web. Penulisnya seorang gay, menulis tentang 10 hal yang mungkin perlu diketahui tentang gay yang muslim di Indonesia.
    Ilustasi awalnya menarik, tentang sebuah acara makan-makan. Dia di sindir masih kekeuh nggak makan babi. Sementara, dia memilih jalur hidup alternatif dengan mengencani gender sejenis. Ditulis kalau tentang timabang-menimbang, bisa dikatakan makanan haram lebih ringan timbanganya daripada zina dengan yang sejenis pula.
    Kalau berbicara tentang dosa, apa masih perlu menjaga diri dari yang kecil-kecil, sementara menjalankan dosa yang lebih besar? Apa ini murni perkara menjaga keseimbangan timbangan, sehingga pantas masuk surga atau neraka?
    Rasanya manusia adalah mahkluk yang hobi pilih-pilih. Memilih ibadah yang mudah-mudah, memilih dosa yang enak-enak, memilih pahala yang murah-murah. Bukankah?
Tentang dosa, tentu sekali lagi, bukan urusan kita. Menungsa mung nrima ngelakoni. Berbuat dan berbuat, sebisanya tanpa pamrih, berbalas suga atau neraka. Tapi, kita ternyata punya tendesi untuk membikin pembolehan -pembolehan.
    Dosa-dosa apa saja sih yang lumrah dipilih untuk dilakukan? Berdusta. Berkata berbohong. Entah untuk motif atau maksud apa, entah untuk motif atau maksud apa, entah untuk motif atau maksud siapa. Yang pasti, ada keuntungan yang ingin ditangguk. Ada keinginan untuk manipulasi keadaan.
    Haram kedua yang lumrah adalah urusan perut. Banyak jenis makanan dan minuman yang dilarang agama tertentu. Tapi, sayangnya, selalu berlaku bahwa makin terlarang makin menantang. Ada nilai subjektif yang bicara. Kadang yang haram memang sungguh lebih nikmat. Tapi, kadang lidah berdusta bahwa suatu hal terasa lebih nikmat karena nilai telarangnya.
    Ada kepuasan setelah menerabas aturan, mengadali aturan. Dari lingkungan terdekat saya, yang terdii atas singgungan minuman yang beralkohol, kecuali dengan alasan kesehatan. Dari sisi makanan pun tak jauh berbeda.
Makanan terlarang kerap mampir ke lidah. Kadang, ironisnya, dokter penyakit lebih punya kuasa melarang daipada Tuhan. Manusia lebih takut kolestrol dan stroke daripada masuk neraka.
    Dosa kelamin, dalam aneka derakjat. Mulai menyentuh yang belum halal hingga menyentuh yang dilarang dan terlarang. Ini dosa yang paling nikmat, paling melenakan. Kadang pula manusia berburuk sangka pada Tuhan.
"Kenapa sih yang enak-enak selalu yang di larang?"
    tanpa dipromosikan, makin banyak perempuan yang melepas keperawanan jauh sebelum menikah, makin banyak yang punya anak tanpa ikatan penikahan, makin banyak yang berselingkuh dengan istri-suami orang.
    Sebuah petanyaan menarik menggelitik saya. Saat urusan kelamin saa primernya dengan uusan makan, mengapa diatur sebegitu susah dengan begitu banyak aturan?
yang saya tahu, manusia melakukan manajemen dosa , memilih dan memilah. Menimbang kekuatan mental untuk mengontrol diri dan kemampuan. Kadang pula manusia melemahkan diri dengan sukarela. Kadang dititik ekstrem, mereka memilih menghindari yang ringan-ringan, tapi malah melakuakan yang berat-berat, yang efeknya tidak cuma ke pribadi, tapi menyangkut jauh lebih banyak orang.
    Dosa-dosa personal adalah dosa-dosa yang mengikat pribadi-pribadi pada hal-hal yang paling pribadi. Mungkin inti pengaturan dosa adalah mendidik untuk mengendalikan dii dari hal-hal kecil. Dengan demikian, manusia tidak gegar menghadapi godaan untuk hal-hal yang lebi besar.
    Manusia tenyata tak pernah ikhlas menjalani. Ada harapan, masih ingin masuk surga, setidaknya menyamakan berat timbangan dosa dan pahala. Masih berbuat dosa sih, tapi nggak banget-banget gitu. Misal ada 100 jenis dosa, setidaknya nggak kebangetan melakukan seratus-seratusnya. Paling tidak, Cuma melakukan 98-99nya.
    tapi, sayangnya, manusia selalu punya 1.001 alasan. Mungkin kita terbiasa berpikir jangka pendek. Surga dan neraka adalah ide sureal, sebuah ide. Nikmat duniawi lebih nyata daripada janji tentang akhirat.
    Tapi, sekali lagi, siapa saya? Andalah yang menentukan buku catatan Anda masing-masing. (*) 

    TULISAN ini nggak orisinil-orisinil amat karena terinspirasi tulisan seseorang dimedia alternatif berbasis web. Penulisnya seorang gay, menulis tentang 10 hal yang mungkin perlu diketahui tentang gay yang muslim di Indonesia.
    Ilustasi awalnya menarik, tentang sebuah acara makan-makan. Dia di sindir masih kekeuh nggak makan babi. Sementara, dia memilih jalur hidup alternatif dengan mengencani gender sejenis. Ditulis kalau tentang timabang-menimbang, bisa dikatakan makanan haram lebih ringan timbanganya daripada zina dengan yang sejenis pula.
    Kalau berbicara tentang dosa, apa masih perlu menjaga diri dari yang kecil-kecil, sementara menjalankan dosa yang lebih besar? Apa ini murni perkara menjaga keseimbangan timbangan, sehingga pantas masuk surga atau neraka?
    Rasanya manusia adalah mahkluk yang hobi pilih-pilih. Memilih ibadah yang mudah-mudah, memilih dosa yang enak-enak, memilih pahala yang murah-murah. Bukankah?
Tentang dosa, tentu sekali lagi, bukan urusan kita. Menungsa mung nrima ngelakoni. Berbuat dan berbuat, sebisanya tanpa pamrih, berbalas suga atau neraka. Tapi, kita ternyata punya tendesi untuk membikin pembolehan -pembolehan.
    Dosa-dosa apa saja sih yang lumrah dipilih untuk dilakukan? Berdusta. Berkata berbohong. Entah untuk motif atau maksud apa, entah untuk motif atau maksud apa, entah untuk motif atau maksud siapa. Yang pasti, ada keuntungan yang ingin ditangguk. Ada keinginan untuk manipulasi keadaan.
    Haram kedua yang lumrah adalah urusan perut. Banyak jenis makanan dan minuman yang dilarang agama tertentu. Tapi, sayangnya, selalu berlaku bahwa makin terlarang makin menantang. Ada nilai subjektif yang bicara. Kadang yang haram memang sungguh lebih nikmat. Tapi, kadang lidah berdusta bahwa suatu hal terasa lebih nikmat karena nilai telarangnya.
    Ada kepuasan setelah menerabas aturan, mengadali aturan. Dari lingkungan terdekat saya, yang terdii atas singgungan minuman yang beralkohol, kecuali dengan alasan kesehatan. Dari sisi makanan pun tak jauh berbeda.
Makanan terlarang kerap mampir ke lidah. Kadang, ironisnya, dokter penyakit lebih punya kuasa melarang daipada Tuhan. Manusia lebih takut kolestrol dan stroke daripada masuk neraka.
    Dosa kelamin, dalam aneka derakjat. Mulai menyentuh yang belum halal hingga menyentuh yang dilarang dan terlarang. Ini dosa yang paling nikmat, paling melenakan. Kadang pula manusia berburuk sangka pada Tuhan.
"Kenapa sih yang enak-enak selalu yang di larang?"
    tanpa dipromosikan, makin banyak perempuan yang melepas keperawanan jauh sebelum menikah, makin banyak yang punya anak tanpa ikatan penikahan, makin banyak yang berselingkuh dengan istri-suami orang.
    Sebuah petanyaan menarik menggelitik saya. Saat urusan kelamin saa primernya dengan uusan makan, mengapa diatur sebegitu susah dengan begitu banyak aturan?
yang saya tahu, manusia melakukan manajemen dosa , memilih dan memilah. Menimbang kekuatan mental untuk mengontrol diri dan kemampuan. Kadang pula manusia melemahkan diri dengan sukarela. Kadang dititik ekstrem, mereka memilih menghindari yang ringan-ringan, tapi malah melakuakan yang berat-berat, yang efeknya tidak cuma ke pribadi, tapi menyangkut jauh lebih banyak orang.
    Dosa-dosa personal adalah dosa-dosa yang mengikat pribadi-pribadi pada hal-hal yang paling pribadi. Mungkin inti pengaturan dosa adalah mendidik untuk mengendalikan dii dari hal-hal kecil. Dengan demikian, manusia tidak gegar menghadapi godaan untuk hal-hal yang lebi besar.
    Manusia tenyata tak pernah ikhlas menjalani. Ada harapan, masih ingin masuk surga, setidaknya menyamakan berat timbangan dosa dan pahala. Masih berbuat dosa sih, tapi nggak banget-banget gitu. Misal ada 100 jenis dosa, setidaknya nggak kebangetan melakukan seratus-seratusnya. Paling tidak, Cuma melakukan 98-99nya.
    tapi, sayangnya, manusia selalu punya 1.001 alasan. Mungkin kita terbiasa berpikir jangka pendek. Surga dan neraka adalah ide sureal, sebuah ide. Nikmat duniawi lebih nyata daripada janji tentang akhirat.
    Tapi, sekali lagi, siapa saya? Andalah yang menentukan buku catatan Anda masing-masing. (*) 

KECANDUAN

  Apa candumu? Jangan jawab asmara, apalagi kalau Anda sama sekali bukan Cici Paramida. Kalau Anda menjawab, tak ada, mungkin wajib waspada kualifikasi tahap pertama: penyangkalan.
   
    Sesungguhnya semua adiksi, kecanduan, di ciptakan acara sukarela. Ibarat tamu, dia diundang masuk rumah dengan tangan terbuka. Sayangnya, kecanduan suka betah dan merasa dirumah sendiri, bertindak sesuka hati. Bahkan, si tuan rumah harus ikut kata si tamu. Anda tertawan, tak bisa melawan.
    Kecanduan seperti lagu, "mulanya biasa saja." Itu analisis sok tahu saya tentang kecanduan. Kecanduan biasanya timbul karena ada kemampetan. Kecanduan bisa jadi jalan kelua atau upaya pengalihan dari isu utama.
    Kedua, inti kecanduan adalah gagal kontrol. Sebab, bentuk kecanduan bisa bermacam-macam dan pada awalnya tak berbahaya, sampai disatu titik ia menguasai kehidupan seseorang.
    Ketiga, karena awalnya biasa saja, kecanduan cenderung dianggap remeh, dispelekan. Karena bukan hal yang bahaya, dilakukakn repetitif, ditingkatkan dosisnya terus menerus, hingga sampai ketempat yang paling ekstrem.
    Keempat, pada saatnya, ketika Anda hilang kendali, ada kecenderungan untuk menyembunyikanya. Mencoba aneka cara jadi tabib, mengobati diri sendiri, karena merasa malu untuk mencari pertolongan dari pihak yang bisa dipertanggung jawabkan. Tapi seringnya, semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur.
    M, 34, seorang wota sejati. Wota adalah sebutan untuk fans berat sebuah idol grup yang tediri atas gadis-gadis muda baru lulus pubertas. Saking ngefans-nya, dia berduyun-duyun bersama para wota lain rela memadati teater demi melihat langsung grup idola atau sekedar berjabat tangan beroleh stiker lucu.
    Bahkan, kompsisi tweet harianya 75 persen berisi mention anggota grup (yang tak pernah dibatas), membahas betapa lucunya si ini dan si itu, dan ujaran-ujaran khas pemuja. Saya tanya, "Istrimu nggak papa?" "Gak papa, dia aku ajak juga lihat teater".
    P,34, punya kecanduan pijat. Dia bisa pijat setiap hari. Mungkin itu pelarian. Mungkin karena tak kunjung berpasangan, tapi butuh sentuhan, intimasi, dan kenyamana, dia memutuskan untuk membelinya. Toh, tak ada yang tak bisa dibeli dengan uang, kan? Atau, setidaknya dikompensasi dengan sejumlah nilai tukar.
    Bagaimana cara menyelamatkan diri dari jerat candu itu? Mudahnya, jujurlah. Setidaknya paad diri sendiri, selanjutnya pada lingkungan terdekat. Apalagi jika bentuk kecanduan itu mulai berpengaruh ke interaksi sosial Anda. Selanjutnya carilah pertolongan. Anda bisa memanfaatkan lingkungan terdekat sebagai sipir, ciptakan "penjara mental". Para sipir akan memainkan peran sebagai pengawas. Kalau masih tak mujarab, temui psikolog. Terakhir, gantilah kolam Anda. Artinya, berhenti berenang di kolam yang berbahaya untuk kecanduan Anda. Kalau sudah tahu kolamnya berbuaya, apa Anda masih mau berlama-lama berenang didalamnya?
    jadi,apa candumu? (*) 

SETAN KREDIT

SAUDARI yang budiman, apakah Anda termasuk konsumen yang mengimani premis tersebut? Membeli hal-hal yang sebenarnya tidak Anda butuhkan dengan berutang untuk menciptakan ilusi dan cerita diri? Kalau jawaban Anda "Ya!", selamat datang di Kelompok Risiko Tinggi Terjerat Setan Kredit (KRT2SK). Saya salah seorang angggota senior yang sama kerasnya berjuang untuk keluar dari keanggotaan.
  Memang betul sih lebih aman untuk membeli sesuatu dengan uang tunai. Tapi, hasrat belanja permisif punya bisikan di kepala yang konsisten, "Kalau bisa kredit, kenapa mesti tunai?" Setelah bertahun-tahun membayar bunga tanpa mengurangi pokok utang, akhirnya saya sepenuhnya menyadari bahwa lebih bijak membeli barang sesuai dengan batas kesanggupan kita. Ditambah lagi, hati nggak harus digadaikan ke rasa deg-degan karena memakai barang yang belum lunas. Gimana ceritanya tuh kalau cicilan belum selesai, eh barangnya sudah di almarhum. Nyesek!
  Bank juga makin hari makin menjanjikan gula-gula kenikmatan. Ingat kan gimana susah dan ribetnya kalo kita ingin mentransfer uang? Harus ke bank, antri di loket, dan mengisi secarik kertas yang bernama slip transfer? Tinggal utak-atik HP atau keyboard laptop, kita bisa langsung melakukan transaksi perbankan tanpa harus mengangkat pantat dari kursi kerja.
  Termasuk, urusan kartu kredit yang janjinya memudahkan banci belanja kita. Kenyataanya, hal itu memudahkan banci belanja merogoh kantong lebih dalam. Semuanya di kemas dengan paket menarik, mulai promo cicilan 0% hingga promo cash back ynag menjadikan kita susah untuk tidak konsumtif.
  Tapi, rasanya masyarakat Indonesia nggak berkeberatan dengan godaan belanja kompulsif dan konsumtif itu. Nyatanya, menurut survei Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, hingga Januari 2013 ada 14,7 juta pengguna. Jumlah tersebut naik hampir 50 persen jika di bandingkan dengan 2007. Hal itu kemudian berbanding lurus dengan jumlah transaksi yang terjadi pada 2012 dan 2013 yang ternyata mencapai Rp 182,6 triliun. Data yang sangat spektakuler tersebut bisa jadi bukti nyata kenaikan status dan jumlah belanja yang terjadi di Indonesia.
 Ini nih jerat nista kartu kredit yang sering menjerumuskan para newbie alias pengguna kartu amatir.

"Bayar Minuman Aja Dulu!"
   Bayar minuman dan bunga pinjam saja, makin lama pkok pinjaman juga yang berbunga dan makan besar.

"Nggak ada duit Nih, Tapi kan masih ada kartu kredit"
  Kartu kredit bukan dana cadangan, kecuali sangat kepepet. Tapi, ingat kartu kredit memperbesar potensi penambahan utang yang berbunga dan bisa menyulitkan kita di kemudian hari.

"Ah, iuran tahunan kan bayarnya belakangan"
  Kartu kredit dipakai nggak dipakai akan kena iuran tahunan. Jangan sampai sok santai karena nggak merasa pernah pakai kartu, eh ujung-ujungnya punya tunggakan iuran tahunan yang berbunga-bunga.

"Bunganya kecil kok, kan cuma 2,5 persen."
  Bunga maksimum dar sebuah kartu kredit adalah 2,5 persen per bulan. Kecil sih kalau dilihat sekilas, tapi kalau bunga-berbunga? Ya sama aja!
  Untuk segera lulus dari KRTJSK, saya memutuskan belajar dari Ligwina Hananto, financial planner dari QM Financial. Ini cara pintar dan benar pakai kartu kredit.

Waspada Limit
  Perhatikan limit kartu yang dimiliki. Ada potensi nama baik sebagai sosialita runtuh dimeja kasir.

Pakai berapa, bayar berapa?
  Pakai kartu kredit dengan bijak, nggak lebih dari 20 persen total gaji.

Jangan utang!
  Bayar seluruh tagihan Anda tiap bulan, setidaknya sebagian besarnya. Bayar minuman sama dengan jadi sukarelawan terlihat utang dengan bunga tinggi. Kendalikan diri, stop pakai kartu kredit sampai seluruh tagihan Anda lunas.

Dua kartu cukup
   Seperti KB, dua saja cukup. Dua adalah batas maksimal nggak pusing putar otak membayar tagihan.
Sayangi dan selamatkan diri selagi bisa dari teror telepon, bahkan debt collector yang suka pamer kekuatan untuk menagih utang. Bijak belanja sesuai dengan kebutuhan dsn kemampuan, toh malaikat cuma menghitung pahala Anda, bukan berapa pasang Manolo Blahnik yang Anda punya. (*) 

SURAT TERBUKA DARI PERAWAN TUA

    SAYA pernah punya cita-cita menikah muda, muda sekali, umur 21 tahun. Saat kecantikan dan kesegaran sedang mekar-mekarnya. Saat cinta sedang buta-butanya. Tapi tak lama, logika mengambil duduk di kursi kemudi.
    Lalu tiba-tiba dalam hitungan hari, saya akan menimang umur baru, 35 tahun, dan masih melajang. Tapi, tahun ini mungkin kegelisahan umur baru tidak telalu menyiksa karena saya punya pasangan baru (ya Saudari, ini bentuk pamer terselubung). Rasanya, setelah lewat 30 tahun, kegelisahan menambah satu angka di deret umur kita tidak lagi begitu menyiksa. Lebih terasa wajar dan hampir tanpa drama yang berarti.
    Kulit mungkin mulai mengendur, garis senyum makin dalam, selulit makin susah dihapus, dan perut makin mustahil diratakan. Tapi, secara pasti dan meyakinkan ada satu hal yang lebih susah dihapus, sigma masyarakat: perawan tua. Well, perawan mungkin tuduhan serius untuk banyak perempuan di umur selanjut saya. Mungkin banyak juga yang sudah melepas keperawananya jauh-jauh hari, tapi anggaplah itu sangkaan baik dari masyarakat pada golongan eksklusif ini. Saya bilang eksklusif karena makin hari jumlahnya makin besar, makin hari umur anggotanya makin senior, yang senior biasanya malah jadi anggota abadi.
    Saya sebagai anggota kelas menengah, belum terlalu senior, tapi tentunya tak lagi junior, punya misi memperbaiki pandangan masyarakat atas ikatan senasib sepenanggungan ini. Bahwa kami para anggota ikatan ini tidaklah semendeita itu. Memang ada masanya hati menjerit iri melihat gadis-gadis yang jauh lebih hijau sudah lebih sibuk dengan belita-belita lucu dan pilah-pilih dekor rumah baru di Ace Hardware. Tapi, kami pun sepenuhnya menyadari bahwa bangun siang saat Minggu luar biasa nikmat, menghabiskan seharian pijat-lulur-manikur-pedikur-belanja adalah surga dunia yang bisa dibeli manusia.
    Banyak tuduhan bahwa kami tukang pilih, bsnysk mau, kurang bersyukur, dan nggak mau berdama dengan keyataan. Itu sebenarnya wajar. Anggota ikatan kami biasanya memang perempuan-perempuan yang lebih punya banyak pilihan. Karena terbiasa berdiri di kaki sendiri, biasanya kami lebih mandiri, baik secara ekonomi maupun sosial. Bukan nggak mau tau kurang brsyukur kalau kami mencoret para lelaki dari jadwal calon bapak aanak-anak karena kami percaya bahwa sejatinya pasangan bukan pelengkap, tapi bonus. Hidup kami sudah bahagia atau kami usahakan sebisanya bahagia.
    Menegenai banyak mau, kami telah begitu lama sendiri. Kami sungguh tahu apa yang kami mau. Sebagai pribadi, kami telah bekembang sempurna. Kami bukan lagi gadis lugu awal 20-an, yang hidup masih dengan pensil 12 warna, rasa arum manis. Buat kami, hidup lebih kaya, pensil 36 warna, rasa asam-manis-asin-pahit-sepat. Tidak mudah mencari pandanan wadah untuk batu es yang sudah jadi. Tentu kami bisa mencair sedikit demi sedikit, tapi butuh waktu dan pengorbanan. Kami juga pandai berhitung untung-rugi, kalkulatif.
    Yang kami cari, teman seperjalanan yang sama mandiri, yang sama tahan bantingnya. Hidup tak mudah dan tak murah, maka setidaknya butuh surviving skill yang mumpuni. Maka, lelaki-lelaki manja, tolong hargai waktu kami. Izinkan kami mencari yang kami mau dan butuh.
Pada saatnya kami menemukan orang yang kami pandang tepat. Kami pun tak akan bertindak "nganeh-nganehi" bin muskil. Menyadari bahwa kami yang tak sempurna, juga tak akan bersanding dengan yang sempurna lahir-batin.
    Tenang, kami adalah mahkluk yang cukup realistis dan pandai bersyukur. Tapi, dalam penantian yang panjang, kami juga punya cukup waktu untuk menanyakan kepada hati kecil apa sebenarnya yang kami cari pasangan. Yang kami sunggu cari, bukan serangkaian kepantasan dan kebanggan yang diharapkan dari lingkungan sosial.
    Mohon doa tulus dari para pembaca sehingga sebagaian besar diantara kami kami cukup tangguh dalam menghadapi peer pressure, tidak terdesak keadaan, dan menyerah kalah. Semoga kami semua diberkahi kesempatan memilih pria yang benar. Atau, tetap menjadi anggota ikatan perempuan perawan tua dnegan bangga dan bermartabat. (*)

BALADA JUAL DERITA

        "HIDUP CUMA SEKALI, BAHAGIAIN AJA.
        HIDUP CUMA SEKALI, NGGAK PERLU DI-DRAMA-IN."

    Sayangnya, dikehidupan yang cuma sekali ini, nggak banyak orang setuju sama premis yang saya tawarkan. Lebih banyak yang memilih menjadi dramatis,malah memilih jadi tragis. Ya, pilihan-pilihan ada di tangan manusia, sang pelaku.
    Kalau Anda bukan Teguh Karya, Arifin C. Noer, atau N. Riantiarno, kenapa sih hobi berat bikin hidup jadi drama? Bikin yang mestinya bisa dihadapi dengan normal jadi nyata? Hobi benar ngasih tambahan MSG ke kehidupan nyata? Apa mungkin Anda bercita-cita main sinetron stripping, tapi gagal tercapai?
   
Merasa bukan bagian dari yang mendramatisasi hidup? Coba cek lagi dengan parameter ini.

  1. Melebih-lebihkan. Rasanya nggak ada tuh takaran atau dosis cukup. Sedang. Adanya cuma maksimal. Pol. Notok. Mentok. Saat bereaksi terhadap sesuatu, Anda selalu beberapa level lebih dari manusia normal.
  2. Sensitif. Urat emosi Anda setipis rambut dibelah tujuh. Disenggol dikit putus. Kurang-kurangin lah sensitifnya. Cuma alat cek hamil yang boleh sensitif.
  3. Egosentris. Merasa dunia ini berputar pada Anda sendiri. Semua komentar orang, perlakukan orang, ditunjukan dan berimplikasi pada diri Anda. Nggak peduli deh dengan keadaan orang lain. Pokoknya Anda, Anda, Anda melulu.
  4. Selalu merasa jadi korban. Ini berkaitan sama poin egosentris di atas. Karena merasa sebagai sasaran utama suatu tindakan atau keadaan, timbul upaya mengasihani diri sendiri. Juga menyalahkan keadaan, nasib, dan menempatkan diri jadi korban, orang terapes didunia.
Mengambil posisi sebagai korban untuk menyelamatkan muka dan membela diri. Korban atau pelaku sebenarnya punya batas jelas. Sebaliknya, Anda juga punya hak untuk memilih jadi korban atau jadi pemenang.

Mereka yang memilih jadi korban ini kemudian mengasah kemampuan utuk mengemas derita mengasah kemampuan untuk mengemas derita jadi cerita. Menjual derita. Kenapa?

  1. Haus perhatian. Cara termudah untuk mengunggah emosi dan menimbulkan simpati, yang berujung pada eskalasi perhatian, adalah menempatkan diri jadi korban. Menjadi yang paling menderita dari suatu keadaan.
  2. Manipulasi perasaan. Iba adalah senjata mematikan, pintu masuk untuk para "korban" dapat perhatian dari lingkungan sosialnya. Memilih topeng paling sedih dan menceritakan kembali keadaan yang dialami dipangkat 10.
  3. Ingin dipentingkan. Anda yang menempatkan diri sebagai korban menyadari kalau lemah, tapi sebaliknya percaya betul kelemahan adalah kekuatan. Ada tindakan sadar untuk mengebiri potensi dan menjadi lemah. Tapi, dengan menjadi lemah, Anda punya kekuatan kasat mata untuk dipentingkan atas nama kasihan.
  4. Modus berulang. Pada giliranya para "korban" ini secara sukarela selalu jadi "korban". Rela jadi orang termalang didunia. Sebab, ini cara mudah untuk diam-diam jadi pemenang. Pemenang simpati orang dan mereka diselamatkan dari "kejamnya" dunia.

    Bagaimana cara menylamatkan diri Anda? Oh, mungkin Anda keberatan karena merasa tidak melakukan. Tapi percaya deh, denial adalah verifikasi awal. Oke, bagaimana cara menyelamatkan teman Anda yang "penjual derita" akut ini?
  Pertama, jadilah "kebal" hati. Senantiasa menempatkan diri jadi korban adalah bentuk sakit mental tingkat rendah. Jatuh simpati maupun memberi perhatian ibarat menuang bensin ke api. Jadi, berhenti lakukan itu. Cuek dan kebal hati saja. Mana tahu setelah tak mendapat apa yang dia cari, si pelaku akan insaf.
  Kedua, lakukan intervensi. Kumpulkan fakta dan paparkan di depan pelaku. Bahwa kita peduli, ingin dia "sembuh". Ini adalah bentuk "tamparan sayang" untuk menyelamatkan teman.
  Jadi, berhenti di dini jadi penjual derita, kecuali Anda berniat untuk jadi presiden di negeri ini. (*) 

PETRUK DADI RATU

Dalam dua pekan ini, bisa dipastikan seluruh indra Anda dikepung gelombang Vicky-isasi. infotaniment, yang secara judul seharusnya menghibur, seperti panen bahan berita. Menyenangkan diawal, guilty pleasure, tetapi memuakkan saat overdosis.

DIKIRANYA penonton TV di rumah sungguh ingin tahu cerita ibu dan adik-adik Vicky, teman-teman SMA-nya, bahkan lurah desanya. Lagi-lagi, simbol " ndesit" yang dirayakan berlebihan. Popularitas instan yang lagi-lagi salah jalur.
  Dilihat dari sisi berbeda, mungkin ini pengalihan isu. Rakyat kita jadi lupa absenya tempe-tahu di meja makan.
Menertawakan derita orang lain, kebodohanya, dan juga kemalanganya. Ternyata, menghibur.
  Tapi, saya tak hendak bicara tentang bahasa Vicky yang serba inggil dan canggih itu. Saya cuma ingin menganalisis kenapa Vicky yang Don Juan kelas kambing ini bisa begitu mulus menipu gadis-gadis penyanyi dangdut yang tak kalah mulus.
  Kalau diperhatikan baik-baik, sebenarnya Vicky ini penhjahat kelamin berkelas standar dalam modus, terlebih wajah.
  Coba kita analisis apa sih senjata utama Vicky memperdayai para biduan itu? Pertama, jurus status sebagai pengusaha sukses di bidang-bidang seksi, batu bara dan minyak. Status ini kadang berganti judul. Ditambah jurus ketiga, casciscus bahasa asing yang terdengar canggih. Walau kalau diperhatikan, sama sekali nggak ada canggih-canggihnya.
  Nah, kenapa jurus diwajah standar ini berhasil memperdaya? Tentu tak lepas dari cermatnya Vicky memilih korban. Dia sadar jurus dan modus itu hanya behasil dengan syarat dan ketentuan tertentu.
  Sadar tak mampu memperdayai gadis-gadis urban macam Raisa, dia secara cermat memilih biduan dang-dut sebagai sasaran utama.
Maka, kita wajib mengganti jajaran korbannya, Zazkia Gotik, Deasy Kitaro, Ade Nurul, Camel Petir, dan kawan-kawan adalah para "pejuang kelas sosial dan ekonomi". Berlaku seperti hukum supply and demand: Pria (mengaku) mapan dan perempuan pencari kemapanan.
  Jika Amerika punya American Dream yang memastikan semua orang punya kesempatan melompati kelas sosial dan ekonomi tanpa melihat latar belakangnya, di Indonesia mimpi ini mengalami pendangkalan. Bahwa mimpi punya mobil mewah dan dua pintu, rumah mewah bertingkat, tas Hermes asli kulit mulus, wajah cantik, badan singset, dan sikap manis manja sebagai mata uang pengganti.
  Ada pendangkalan dan pengesampingan kerja keras. Tanpa mengecilkan perjuangan mereka untuk memaksimalkan penampilan, tak bisa dimungkiri, pria mapan berpendidikan luar negeri tentu bonus manis sekaligus eskalator ekspres dalam perjalanan mewujudkan mimpi.
  Kemapanan instan tentunya godaan yang sudah ditolak, bukan? Pendidikan minim ditambah intimidasi kelas sosial dan kemapanan sering memendekkan pikir. Tak heran, digombali sedikit dengan bumbu bahasa anggih, mereka sukarela klepek-klepek. Tanpa sadar, ambisi berpadu keluguan adalah menciptakan jebakan maut untuk diri sendiri.
  Materialisme membutakan dan pada banyak hal melonggarkan nilai-nilai. Para perempuan ini lupa bahwa semua hasil butuh usaha.
  Saya ingat satu cerita wayang dari buku Yang Kung saya , Petruk yang punakawan eh tiba-tiba jadi ratu. Tapi, semua yang instan pasti sementara. Semua rezeki dan kemapanan, sialnya, sudah dijatah nasib. Dan, Tuhan tidak besama mereka yang menggampangkan hal-hal, menghalalkan yang tak halal. (*)

Minggu, 26 Januari 2014

ANTARA PEREMPUAN, IBU, CABAI DAN TERONG

Selamat hari perempuan, 22 Desember kemarin! 
Ya, bukan Hari Ibu, jadi semua perempuan 
berhak diselamati. Untuk yang sudah atau yang akan, 
juga untuk yang memilih tidak, karena keadaan,
kesehatan, atau pilihan sadar lain.


TERNYATA 22 Desemmber menandai kongres perempuan pertama di Jogja. Saat itu para perempuan Indonesia membicarakan hal-hal penting seputar keperempuanannya. Hak untuk terlibat dilebih banyak bidang, hak atas kesehatan, hak untuk selamat dari perkawinan dini, juga hak anak-anak dan perempuan untuk diselamatkan dari perdagangan. 
  Bahwa yang perlu dirayakan sejatinya adalah keperempuanannya, kesadarannya untuk melintas batas yang diciptakan budaya, juga kontribusi perempuan terhadap bangsa ini. Itu mestinya lebih dari sekedar perayaan dan puja-puji untuk keibuanya.
  Konon, itu usaha sebuah rezim untuk menumpulkan perempuan, menempatkanya sebagai hanya kanca winngking, semata menjalankan fungsi domestik. Walaupun sungguh tak ada yang salah dengan selebrasi terhadap ibu dan keibuanya. Tapi, perempuan sejatinya lebih dari sekedar itu. 
  Tentang perempuan dan ibu, merekalah yang selalu didakwa sebagai pilar keluarga. Kenapa didakwa? Sebab, merekalah yang paling dipersalahkan untuk kegagalan sebuah keluarga. 
  Untuk anak-anak yang gagal menjadi baik menurut standar kelaziman, untuk anak-anak yang dianggap gagal oleh lingkungan, semua berada dipunggung ibu-ibu. Bahkan, bapak-bapak pun merasa berhak untuk mendakwa, seolah sepenuhnya tanggung jawab ibu, bahwa uang-uang yang mereka bawa pulang sudah cukup sebagai urun tanggung jawab untuk keluarga. 
  Bicara tentang ibu, susah jadi ibu zaman sekarang, di zaman buah-buahan dan sayur-sayuran tak semata merujuk pada makna aslinya. Di saat dunia, setidaknya di Indonesia, apel, BlackBerry, Cabai, dan terong telah bermakna ganda. 
  Dua yang pertama tentunya menurut pada perkembangan teknologi, alat komunikasi yang menyesaki saku-saku ABG masa kini. Tempat hidup mereka berjejak dan mata mereka tak pernah lepas dari layarnya. Dua yang terakhir adalah istilah yag sedang heboh dibicarakan di Twitter dan media digital, cabai-cabaian dan terong-terongan. 
  Cabai-cabaian mengarah pada pengertian gadis-gadis muda yang memilih untuk melonggarkan susilanya atas nama pergaulan. Konon, jenisnya di bedakan menurut kelas sosial, mulai ramai di amati di Jakarta. Tapi, apapun namanya, saya rasa cukup relavan dikota-kota lain, besar dan kecil. Kalau Anda paham istilah jablay atau alay, ini adalah versi 2.0-nya. 
  Kategorinya, menurut seorang selebtwit , Gofar, di pecah tiga. Hijau adalah anak SMA-SMP dari sekolah gaul yang hobinya dandan, berhak tinggi, dan berbaju seksi diluar umurnya, juga cari umur untuk clubbing dan pulang pagi. 
  Untuk merah, nongkrong-nya masih diswalayan bertempat duduk, biasanya juga hobi ke kelab, tapi masih bergantung pada invitation geratisan dan guest list. Biasanya ramai di university night di kelab-kelab. Nah, mereka getol mengencani DJ atau bisa diajak pulang anak yang kelihatan gaul demi akses mudah ke kelab. 
  Cabai oranye adalah gadis-gadis SMA-SMP pinggiran yang bergaul lebih ke kafe kaki lima dan hobi nongkrongin para pembalap liar. Untuk mengeksiskan diri, mereka rela jadi hadiah tambahan bagi pembalap liar yang juara malam itu . 
  Sekarang cerita tentang fenomena terong-terongan. Para pelakunya adalah ABG pria yang krisis identitas seksual. Bentuknya sih lelaki, tapi hobinya pakai foundation, kosmetik tipis-tipis, celana legging aneka warna, juga T-shirt V neck seperdalam, plus tentunya laku kemayu. 
Mereka banyak dijumpai di jajaran penonton acara musik di TV, yang heboh jadi  bulanan-bulanan MC yang tak kalah kemayu dengan joget ucek-jemur. Juga bertaburan di laman-laman Facebook dengan foto selfie aneka gaya. Itu tak lepas dari figur idola mereka yang kemayu dan kenes walau lelaki. 
  Seperti ada syarat tidak tertulis kalau nggak kemayu, jangan harap jadi bintang layar kaca, jadi MC acara live lima kali sehari, beli mobil, liburan, masuk infotainment. Nah, jenis terong-terongan ini adalah golongan gay-hibrida. Pria-pria muda yang memilih menjadi gay semata karena tren. 
  Nah, benar kan? (Makin) Susah jadi ibu? zaman sekarang? Jadi, semoga hari perempuan atau Hari Ibu atau hari pun apa namanya menguatkan hati-hati perempuan untuk menjadi ibu-ibu yang lebih baik, lebih bijak, lebih luas dan sabar hatinya. (*) 

GEGAR STATUS

  SEORANG om 40-an akhir, berambut klimis agak jarang, berbaju safari, dengan kumis tipis beriring diatas bibir sedang berbicara dengan gadis berambut belah tengah, "Jangan panggil bapak dong, panggil mas aja." Adegan yang lazim saya tonton dalam film-film pada 80-an. Biasanya ucapan sejenis diungkapkan om-om genit yang sedang puber kedua. Krisis identitas.
  Sekitar 20 tahun kemudian, ternyata saya menjelma om-om dalam kemasan yang sedikit berbeda. Saya baru tahu rasanya.
Sedikit paham krisisnya, walau tetap nggak paham dengan gaya salamannya. Saat lebih sering disapa "ibu" daripada "mbak". Gegar identitas, status sekaligus.
  Muailah saya menyusun daftar kemungkinan asal muasal panggilan ini. Apakah karena tampang matang pohon? Apakah kerut-merut halus di sekitar mata dan bibir saya sebegitu terlihat dari balik meja kasir? Apakah baju saya yang serius? Apakah make-up saya yang terlalu paripurna?
  Perempuan-perempuan dengan paket pertumbuhan normal biasanya mulai mengalami pergeseran  panggilan begitu mereka menyentuh 27-an.
Beberapa yang tidak cukup beruntung karena wajah dan lingkar badanya bertambah menurut deret ukur malah bisa-bisa mengalami pada usia  yang jauh lebih dini, awal 20-an. Tentu ini lebih perih, saya kirim simpati dan peluk agar ikhlas menjalani cobaan.
  Untuk melegakan hati dari keresahan gegar identitas itu, saya mengadakan percobaan kecil. Bepergian dengan gaya trendi kekinian mulai ujung kaki ke kepala. Mencoba berinteraksi di beberapa tempat. Mulai tempat normal semacam toko serba ada dan minimarket sampai tempat pergaulan anak muda seperti kafe dan distro.
  Dari 100 kali panggilan, mungkin hanya 19 persen yang membahagiakan hati dengan panggilan mbak, 1 persen dengan status ambigu dengan panggilan tante mungkin punya niat baik ingin membahagiakan hati, tapi tak cukup yakin dengan bungkus muda artifisial ini.
Sisanya tetap: memilih panggilan ibu.  Ternyata, rindu tinggal rindu. Ternyata, status panggilan saya sudah secara sah dan meyakinkan bergeser. Keluh.
  Apa salahnya sih dengan panggilan ibu? Nggak ada yang salah sih, kecuali semacam saya. Panggilan ibu mungkin adalah format hormat, sekaligus formal dan aman. Sebab, ternyata di bank dan hotel, ada peraturan tertulis bahwa konsumen perempuan cukup umur harus di panggil ibu. Fakta yang sedikit melegakan.
  Lalu saya menelisik lebih dalam, apakah gamang bin insecure ini juga dibawa status yang kebetulan masih lajang? Sebab, seyogianya panggilan ibu pasti akan lebih ikhlas diterima mereka yang memang sudah secara biologis menjadi ibu. Apakah ini sebuah mekanisme difensif untuk menolak ketuaan yang merambat diam-diam? Mungkin. Ada sebersit ketidakrelaan untuk di-fait a compli sebagai ibu-ibu.Gegar mungkin kata yang tepat. Sebab, ada ketidaksiapan untuk menghadapi kondisi dan kenyataan hidup.
  Semoga saya dijauhkan dari godaan untuk menyembuhkan gegar status ini dengan cara-carra yang kurang mulia.
Misalnya, nekat dengan merendeng berondong ke sana-kemari. Juga, tidak nekat jadi korban mode. Khilaf memilih celana gemes atau baju kelihatan pusar tanpa menimbang kodisi selulit.
Semoga saya berhasil menerima kegegaran ini dengan bijaksana, tanpa botox. Amin. (*) 

Kamis, 23 Januari 2014

PEREMPUAN MISKIN DILARANG MATRE

  SAYA men-tweet dua kalimat itu beberapa hari lalu dan pesan ini  bergulir cepat, saya panen re-tweet hari itu. misteri besar banjir tweet hari itu, entah karena kebetulan di re-tweet oleh traveler dan penulis chicklit ternama, entah karena sepakat dengan isi tweet, entah karena tertohok bin tersindir. Sebenarnya, inoi bukan ajakan perang terbuka untuk para perempuan matre diluar sana, ini cuma pernyataan sikap.
  Perempuan matre, itu lagu lama. Fenomena usang. Lelaki matre pun tak kalah banyak, baik yang terang-terangan maupun yang sembunyi dibalik selimut. Tapi sekali lagi, perempuan di untungkan (atau malah di rugikan) dengan penghakiman kultural "surga nunut, neraka katut". Kalau pasangannya hidup enak, wajar kiranya untuk ikut mencicipi hidup enak bergelimang senang. sebaliknya pun begitu. Tapi, tentunya yang matre murni percaya premis tambahan, "Ada uang abang disayang, tak ada uang abang dibuang".
  Tapi, saya tak punya penghakiman atas matre dan ke-matre-an. Menurut saya, matre itu sah dan wajar asal jujur dan bertanggung jawab. Wajarnya jual beli-atau hukum supply-demand, perempuan matre tentu punya bargaining power untuk menjual cinta dan pesona guna mendapat kegemilangan hidup. Fenomena perempuan matre tentu hidup dan lestari karena jumlah lelaki kaya raya yang sukarela (atau sok rela) di-matre-i

"Perempuan, kalau berani matre, 
harus juga berani kaya. 
Kalau masih miskin sudah matre, malu" 

juga senantiasa tersedia dipasar. 
  Tapi, hei perempuan, jangan berani matre kalau belum berani kaya. Menurut saya, kalau masih miskin, jangan berani-berani matre. Jadilah matre karena pilihan, bukan keadaan. Artinya begini, saat Anda memutiskan jadi perempuan matre, sepenuhnya pilihan sadar karena Anda merasa pantas mendapatkanya. Kekayaan itu bisa berbentuk kekayaan (uang dan  harta lainya), juga dalam bentuk kecerdasan intelektual. Miskin dan "miskin" menempatkan Anda di status hina "kere munggah bale". Lompatan sosial instan, selain dianggap miring, sering menimbulkan ke-norak-an sosial budaya. Karena itu, butuh persiapan mental dan spiritual untuk menjadi perempuan matre paripurna. 
  Sebaliknya, lelaki, kalu Anda belum kaya, jangan juga berani-berani menuduh perempuan matre kepada Anda. Butuh kapital cukup untuk mendakwa perempuan me-matre Anda. Kalau kadar kekayaan Anda masih sedang-sedang saja. Anda belum pantas di-matre-i. Jangan GR karena para perempuan matre pun punya SOP dalam membidik sasaran. Ada etika dan tahap saringan khusus. Jangan nekat kalau nggak kaya-kaya amat. Jangan berani-berani sok kuat  di-matre-i tanpa modal cukup. Jangan sok tegar kantong, Anda bukan Donald Trump, bukan juga Hugh Hefner. 
  Terakhir, sekali lagi, saya mengirim pesan untuk para perempuan yang sudah atau  berniat akan menjadi matre, pastikan Anda cukup kaya fisik maupun mental. Beranilah kaya supaya Anda pantas menjadi matre atas nama pilihan hidup dan solusi menang sama menang, untung sama untung. Jadilah barang mahal dan berharga yang harus ditebus dengan harga mahal. Kalu modal pas-pasan, jangan nekat jadi matre, malu. Menjual barang kualitas KW dengan harga barang kualitas bagus itu penipuan. Seandainya si lelaki mau, judulnya khilaf. Namanya khilaf, pasti ada sadarnya dan Anda akan didepak cepat-cepat karena ternyata harga Anda nggak cukup untuk dijual mahal. Jadilah perempuan matre yang bermartabat. Sekian dan terima kasih. (*) 

ETIK KENCAN PERTAMA

  DATANGNYA perkenalan bisa dari banyak pintu. Jadi, saya yang getol-getol snati mencari peluang jodoh ini dapat kenalan baru dari jejaringb yang seharusya prifesional, Linkedln. Sebut saja namanya Z. Secara tidak sengaja, kita bersirobok di Twitter, saling follow, dan akhirnya saling DM. Lalu begitu saja, akhirnya berlanjut ke jaringan komuniasi yang lebih personal.
  Akhirul kata, hubungan ini layu sebelum berkembang. Berangkat dari pengalamnan itu, rasanya ini pas di jadikan bahan analisis mengenai etik kencan pertama.
 
PRAKENCAN
  Lakukan fit and proper test standar: stalking. Stalkig atau prnguntitan digital ini mudah saja. Tinggal masukan namanya di situs pencari, maka akan keluar aneka info mengenai oknum yang kita cari tahu itu.
  Malah, kalau kita beruntung, misalnya si empunya cukup melek teknologi dan punya reputasi atau jenis pekerjaan yang akrab publisitas, perjalanan hidup bahkan daftar nama mantan dan perjalanan cintanya akan terpampang nyata.
  jika ternyata dia cukup asyik ditahap ini boleh kiranya Anda mengatur jadwal pertemuan. Tapi, kalau dia kurang asyik di tahap ini, nggak ada salahnya juga untuk tetap mengatur jadwal perjumpaan. Kadang beberapa orang kurang terampil dibahasa tulis dan lebih memikat dijumpa barat.
 
SAAT KENCAN

  Lokasi menentukan prestasi. Pilih tempat yag tepat. Untuk jumpa pertama, ada baiknya pilih tempat yang nyaman untuk semua. Nyaman berarti banyak. Jarak; pastikan lokasi kopi darat di tempat yang memudahkan buat kedua pihak, jagan mengajak bertemu di antah berantah, atau terlalu jauh. Netral; pastikan tempatnya tidak pretensius. Restoran, kafe, atau tempat ngopi adalah pilihan yang aman.
  Ajakan nonton di jumpa pertama juga kurang ideal karena semestinya pertemuan pertama adalah langkah kulonuwun. Waktu untuk masing-masing pihak mengecek chemistry. Ajakan jumpa pertama dirumah bisa jadi juga kurang pas karena rumah ibaratnya adalah area privat.
    Berkunjung ke rumah orang yang sma sekali belum pernah ketemu terasa janggal buat banyak orang. Ajakan ketemu dirumah, kecuali dengan alasan khususnya, misal ada pesta kecil, atau sedag sakit, bisa terbaca sangat pretensius. Seperti ada hidden agenda alias udang dibalik batu. Apalagi kalau jelas-jelas si pengundang tinggal sendiri, ini akan terbaca sebagai ajakan romansa daripada sekadar ajakn bertemu. Seperti hukum kata hati, di kasus ini hanya si pengundang dan Tuhan yang tahu.
  Don't put pressure on each other. Ciptakan posisi dan situasi nyaman untuk kedua pihak. Makanya, berhenti juga menjadi perempuan yang "terserah". Ini nyaris 2014, sudah bukan abadnya menjadi perempuan tipe "terserah". Tunjukan sikap karena "terserah" berkedudukan semisterius alien di planet lain dan pasangan kencan Anda bahwa bukan ahli ekstraterestrial. Sejauh yang saya tahu, lelaki yang paling sensitif dengan kata terserah, apalagi di titik-titik awal. Pesona anda akan gugur satu digit!
  Pakai baju yang nyaman sekaligus menonjolkan sisi terbaikmu. Maka, mudahnya cari bungkus yang jujur dan tidak menjanjikan terlalu banyak.
Stop over-promising. Be yourself.

PASCAKENCAN
  Baik-buruknya jumpa pertama ditentukan oleh tindas rasa yang di tinggalkan setelah pulang kerumah masing-masing. Tapi, menurut saya, interaksi pertama ibarat proses tawar menawar harga di lapak pasar. Jadi tidak jadi, cocok tidak cocok,   berikan akhir yang baik.
  Kalu "cocok harga", tidak ada salahnya anda mengirimkan ucapan terima kasih begitu sampai dirumah.
  Bagaimana jika Anda nggak tetarik dan pasangan kencan gagal impresif? Tetap sopan. Any of your date deserve a perfect closure. Ucapkan teima kasih dengan nada yang paling netral. Baiknya sih lewat bahasa tulis saja, singkat-padat-jelas. And life goes on. Gagal dikencan pertama buka akhir dunia. Masih banyak kumbang diluar sana. Keep looking, keep searching! Your perfect man is corner away. (*)  

BALADA JONI & SUSI

  PERNAHKAH Saudari punya teman bernama Joni?
Atau, Susi? Joni yang ditulis secara blaka sutho dengan ejaan bahasa Indonesia apa adanya. Joni jelas serapan dari Johny seperti pada Depp atau agen rahasia Inggris, Johny English. Era Joni mungkin sudah lalu . Dalam sejarah, Joni yang paling dicatat namanya hanya Joni Indo. Pria ganteng blasteran yang juga penjahat kambuhan berbahaya di era 80-an.
  Sementara itu, Susi tentunya berasal dari Susy.
Biasanya, itu panggilan sayang untuk nama Susan atau Susana.Saya pernah punya teman yang namanya Susi, yang ditulis secara rendah hati dengan cita rasa Indonesia, bukan jenis Susi yang kebarat-baratan., Susy. Seperti namanya, seingat saya, Susi ini berambut kemerahan yang tentunya alami karena zaman saya kuliah cat rambut masih barang mewah. Dan kami mahasiswa di Universitas bersahaja yang duit jajanya tak kalah bersahaja. Putih, cantik, kenes, dan sedikit kemayu. Mungkin benar, nama adalah Do'a.
  Lalu, adik laki-laki saya KKN di Lereng Gunung Bromo. Ditengah dusun berkabut, dia akrab dengan brian kecil, Cassandra, Bella, bahkan Keisha. betapa penetrasi TV mengubah budaya, setidaknya struktur nama.
  Keponakan-keponakan saya punya nama-nama yangyahud dan tidak generik. Yang satu bernama Trixiequita Kalyka Meediza (yang kurang lebih bunga mawarkecil yang membawa kebhagiaan)., satunya bernama Ritero Kicko d'Ravelo (yang berarti kesatria dengan tendangan revolusioner). Trixie di daftar absen kelas IV SD-nya punya teman sekelas dengan nama-nama generik khas generasi 2000-an. Kadang sekelas ada lebih dari satu orang Salsa, Daffa, Tasya, Kayla.
  Kalau bisa saya kategorikan, jenis nama yang sedang trendi di era ini terdiri atas nama islami yang di modernkan dalam penulisan, contoh Aisya atau Aesha (dulu Aisah atau Aisyah), Jenna atau Janna (dullu Jannah).
  Kedua, jenis nama yang diambil dari kota-kota dunia. Sepertinya sih nama ini di mulai Beckham-Victoria dengan Brooklyn. Ketiga, nama dari merek. Misal, Prada, Mercedes,  Chloe (kadang ditulis Khloe ala jajaran Saudari Kardashian), dan Armani. Keempat, nama dari bintang film, misal Ethan, Liam, Cinta, Rangga (yang dua ini tentunya dari Ada Apa Dengan Cinta?), Scarlett, dan Zoe.
  Nah, ada tren terbaru, yaitu nama asli bahasa Indonesia dan merupakan kalimat. Pasangan Anto Hoed-Melly Goeslaw termasuk yang progresif menamai anak mereka Anakku Lelaki Hoed dan Pria bernama Hoed. Ada juga yang menamai anaknya Angan Senja, Denyut.
  Saya memilih golongan terakhir dengan menyiapkan Bintang Radjah Langit dan Magenta Jejak Cakrawala untuk anak-anak saya nanti. Mohon dua nama ini jangan dikutip, sudah saya patenkan, walau dalam hati saja.
  Bagaimana kasus keberatan nama? Nama canggih nan Internasional, tetapi eh kelakuan ndesit bin ndeso? Atau nama Islami, seperti Akhsani Takwim yang kurang lebih bermakna semulia-mulianya ciptaan Tuhan, eh pacarnya gonta-ganti menurut deret ukur, bukan sekedar deret hitung.
  Menurut pendapat saya pribadi, karena nama adalah harapan orang tua kepada anak, nggak ada salahnya memberikan harapan maksimal. Tapi, tentu namanya juga berharap, cobalah senantiasa proposional. Jangan sampai harapan tinggal harapan. Namai anak anda dengan sak madya.
 Saat memberi nama, seharusnya orang tua berwawasan futuristis. Artinya, perlu memperkirakan nama itu nggak ketinggalan zaman. Bayangkan anak-anak anda akan berkiprah di 20 tahun dari sekarang. Nama seyogianya punya efek dramatis agar mudah diingat, tapi juga membumi.
  Dalam menamai, bertenggang rasalah kepada anak Anda yang akan mengemban nama itu seumur hidupnya. Jangan beri nama yang rentan bully.
  Yang terpenting pola asuh dan pola didik benar sehingga nama tidak sekadar nama. Tidak sekadar pepesan kosong dan janji-janji ala pemilu. (*)  

URIP IKU NGELAKONI

  SEJAK awal mengambil jalan alternatif sebagai pengusaha partikelir hidup tak lagi sama. Hidup adalah tentang mengubah peluang menjadi uang. Saya mengambil peran sebagai makhoda kapal.
  Namanya juga kapal, kadang ada gelombang, kadang laut tenang menghanyutkan. Kadang mesti pandai-pandai melompati melintasi badai karena pilihanya cuma berjuang atau habis terempas dan kandas.
  Nah dalam perjuangan ini, sering rasanya habis napas. Sering rasanya habis tenaga. Ingin terjun saja ke laut dan menungggu sekoci dari entah kapal siapa. Atau, sering tergoda mengemudi kapal kembali ke pantai, menjangkar dan berhenti saja. Pulang.
  Manusia selalu tergoda untuk merasa dunia berpusat kepadanya. Saat prahara menerpa, nasibnyalah yang paling nahas. Setidaknya saya sering begitu: orang paling apes sejagat raya. Hidupmu saudari, bagaimana?
  Hidup saya resah, gelisah, cemas sekaligus. Semua serba tak pasti. Finansial dalam kondisi harap-harap cemas, ditambah saya adalah jenis orang yang tak pernah berhasil punya tabungan. Terkelompok dalam jenis manusia yang lemah godaan dan terbiasa mencipakan serangkaian kebutuhan bersifat tersier atas nama gaya hidup.
  Ditambah departemen hubungan yang sama tak jelasnya. Pria-pria datang dan pergi, cuma mampir, belum ada yang pas untuk tinggal. Peer pressure.
  Sepertinya tiap orang melangkah ke tahap baru kehidupan; membeli simbol-simbol kemapanan baru, memamerkan status baru; sedang saya masih di sini-sini saja. Saya rapuh, nyaris jatuh. Tapi, saya memutuskan belum saatnya menyerah kalah. Belum saatnya menggantung nasib.
  Kadang untuk merasa beruntung, kita perlu melihat sekeliling. Ini perkara memahami bahwa atas dan bawah hanya posisi dengan pertarungan sendiri-sendir. Atas dan bawah punya senang dan susah masing-masing.
  Ada seorang teman yang panik mengira diri gangguan mag akut atau malah kanker usus. Sibuk berobat, eh, ternyata dia hamil enam bulan. Perempuan paling ambisius soal karir yang saya kenal, yang hidupnya cuma urusan meeting, deadline, dan klien. Perempuan yang lebih tahan dengan anak kucing daripada anak manusia tiba-tiba menghitung hari untuk jadi ibu.
  Lalu, saya pikir-pikir, kenapa terlalu banyak berlogika, berhitung diatas kertas? Hidup adalah soal menjalani. Buang semua hitung-hitungan njelimit soal rencana dan strategi, ikut dan percaya saja. Anggap saja ini pertualangan. Percayakan nasib dan berbaik sangka kepada Tuhan.      
  Tutup mata secara sukarela dan berjalan dengan waspada. Bawa bekal secukupnya saja. Nasib baik dan keselamatan, apalagi bahagia, nggak pernah dijual pakai kurs mata uang manusia.
 urip iku perkara ngelakoni. Menjalani. Hal-hal yang paling kita hindari adalah hal-hal yang akan menjadi ujian perjalanan. Jangan memutuskan berhenti terlalu cepat. Kadang kesenangan dan kesuksesan ada dibelokan jalan yang kita ambil hari ini. (*)  

MENIMBANG BODI & BUDI

CANTIK melulu tentang itu dan itu saja. Membosankan. Putih, tinggi, langsing, rambut panjang, punggung tidak bolong. Berkat konspirasi pihak-pihak tertentu standardisasi cantik itu diamini dan diimani secara global.
  Eka shanti, seorang mantan jurnalis yang memilih keluar dari TV tempatnya bekerja karena tidak diperbolehkan berhijab, membidani ajang kecantikan alternatif. Konon, dia ingin memberi wajah baru terhadap Islam. Awalnya dikhususkan untuk muslimah Indonesia, tapi per tahun ini dibuat Internasional. Di final ada 20 finalis dari delapan negara yang dipilih secara online.
  Sebagai kontes alternatif, ada juga cita-cita besar untuk membei pilihan bagi para perempuan, khususnya yang muslim, hendak lengak-lengok sekuler atau lengak-lengok islami. World Muslimah ini mengadu kecantikan dan keimanan, juga kelancaran membaca Alquran. Utopia saat para kontestannya berbagi cerita bahwa satu sama lain adalah saudari yang tidak berkompetisi untuk lebih dari yang lain. Dalam hati saya bertanya, adakah cara manusia untuk menilai dan memperbandingkan tingkat ketaatan agama dan kadar keimanan?
  Memilih waktu yang dekat dengan gelaran kontes kecantikan sekuler internasional lain, Miss World, rasanya mau tak mau menciptakan dikotomi. Kontes kecantikan yang "halal" dan yang "haram". Keduanya saya bubuhi tanpa petik ganda. Sebab, halal dan haram adalah topik subjektif, kadang malah etalase pamer siapa yang lebih benar daripada yang lain.
  Menarik untuk mengamati yang dipilh sebagai pemenang World Muslimah tahun ini. Saat kemudian yang ditahbiskan sebagai ratu adalah yang tergelap kulitnya dan bukan yang tercantik menurut standar umum. Perlawanan terhadap simbol cantik dan kecantikan telah dilakukan.
  Obabiyi Aishah Ajibola, 21, asal Nigeria. Badanya tinggi besar, tidak luwes saa5t melenggang kulitnya gelap, berbahasa Inggris tidak sempurna.
  Ada dekonstruksi yang secara sadar dan berani telah dilakukan oleh tim juri. Dekonstruksi melawan sandaran kecantikan masal: putih, langsing, hidung bangir, alis beriring, bibir tipis merah merona alami. Ini sebuah perlawanan yang bernyali dan berani.
  Tapi, Sekali lagi, yang tampak etalase kecantikan. Parade bungkus. Perempuan-prempuan berhijab mewah karya Dian Pelangi beradu dengan perempuan aneka bangsa belenggok dalam baju nasional. Yang satu mengadu lancar membaca Alquran, sementara yang lain melepas anak penyu. Senyum terencana, sikap tubuh sempurna, dan jawaban-jawaban normatif sepanjang acara. Saya rindu melihat sesuatu yang mengentak. Menimbulkan decak. Mungkin ekspektasi tinggi tak pernah boleh di lekatkan pada sebuah kontes kecantikan.
  Lalu, pertanyaan ini mengemuka, pantaskan kecantikan bodi dan budi dikompetisikan? Menimbang bodi mungkin urusan mudah, cukup dicari yang kombinasinya paling simetris.
  Urusan menimbang budi, nah ini persoalan. Pengamatan selama masa karantina tak pernah akan cukup. Tapi, simetrisnya otak dan hati siapa yang tahu? Video dan wawancara nggak akan pernah bisa menakar, mengintip pun tidak. Kelakuan mungkin bisa terukur, tapi sekali lagi itu kan cuma soal tatanan pantas dan patut.
  Karena itu, rasanya tak ada yang pantas mengadu perempuan. Soal siapa lebih cantik daripada siapa, apalagi soal siapa yang lebih berbudi, bertakwa, dan beiman daripada siapa. Sebab, kita, perempuan,bukan jangkrik aduan, dan mereka, dewan juri, bukan Tuhan. (*)    

THE SCIENCE OF LUCK

  SAYA termasuk spesies orang yang nggak beruntung alias minim hoki. Seumur hidup, hitungan kurang dari setelapak tangan saya dapat undian. Kalaupun dapat,  jenis hadiah hiburan yang paling hiburan, macam mug, payung, atau voucher-vhoucer lucu.
  Kalau urusan undi-mengundi, saya angkat tangan dan pulang cepat untuk urusan door prize. Sementara itu, daftar blacklist banyak media, mulai radio sampai majalah, karena tiap ikut kuis selalu dapat hadiah. Dia masuk kategorisasi haram menang karena dianggap bounty hunter alias pemburu hadiah. Sampai-sampai dia menyamar aneka nama, bahkan pinjam KTP dari teman sampai pembantu, kalau hasrat iseng ingin ikut kuis sedang membara.
  Setelah saya amati, kadar dan jenis kemenangan saya nggak pernah di jenis-jenis undian ,tapi selalu di kompetens. Kemenangan yang butuh keringat,  darah, doa, dan air mata.
  Sampai akhir pekan lalu, saya ikut creative trip ke Singapura, hadiah dari salah satu kosmetik karena jadi satu di antara sembilan pemenang untuk perempuan pekerja atau profesional.
   Senang? Tentu. Well, ini lagi-lagi bukan hasil keberuntungan. Sebab, saringan untuk jadi pemenang bukan urusan undi nama. Saya harus berjuang menampilkan pencapaian dan passion hidup saya dalam bentuk presentasi memikati hati juri. Tetapi, dari perjalanan ini, saya menemukan pelajaran berharga tentang untung, beruntung, dan keberuntungan.
  Dari salah seorang pengajar di perjalanan kreatif itu, saya mendapat catatan menarik. Sama sekali bukan materi pokok dari kelas yang diajarinya, yang tentang problem solving melalui gambar. Namanya Ai Yat Goh, perempuan setengah baya, nyaris 60 tahun. Pensiunan banker senior yang akhirnya jadi dosen. Warna kulit dan mata sipit ternyata berbuah diskriminasi. Pendapatan. Sebagai warga lokal singapura, harga satu jam mengajarnya ternyata cuma seperempat dari harga para dosen ekspatriat yang berambut pirang, bermata keberuntungan, dia memutuskan menciptakan keberuntungan.
   Katanya, diantara total populasi manusia di bumi, hanya 2-3 persen yang lahir berutung. Mereka yang nasibnya ala si Untung Bebek ini supermioritas.  Lainya adalah mereka yang harus berjuang mencipakan keberuntungan.
  Masih kita Ai Yat, Kombinasi resep keberuntungan adalah berada di tempat yang tepat, di waktu yang tepat. Tapi, bagaimana caranya menangkap momentum waktu dan tempat? Katanya sederhana saja: selalu berada di sana setiap saat. Jadi persisten dan konsisten. Keras kepala untuk selalu siap sedia menangkap momentum.
  Lalu, saya mulai berpikir, ilmu pasti keberuntungan mungkin memang di situ. Karena kita bukan jenis yang lahir beruntung, kitalah yang harus menciptakan keberuntungan. Terus dan terus mencoba, jangan pernah absen. Sebab, bisa jadi saat kita memutuskan absen berusaha, keberuntungan sedang berbaik hati kepada kita.
  Jadi sekali lagi, ilmu pasti menangkap keberuntungan sederhana saja: keras kepala dan keras niat. Jalani usaha dengan rajin-rajin menyebut nama-Nya dalam setiap langkah sambil berharap Tuhan sedang berminat memberikan berkah-Nya. (*)  

Selasa, 14 Januari 2014

TERPERANGKAP ASAP

SAAT berbuka disebuah mal, seperti lazimnya buka puasa, semua bangku di restoran-restoran padat sesak. Saya dihajar fenomena. Mungkin cuma terjadi di kota besar, perempuan-perempuan aneka usia, bertutup kepala maupun bertelanjang kepala, asyik merokok. Yang paling mengusik, mereka merokok di antara anak-anak merka yang masih kecil. 
  Merokok sama seperti paket kecanduan yang lain, sepenuhnya masalah pilihan dan pengabaian kesehatan. Dunia seperti supermarket serba ada, kita yang memilih paket kecanduan kita; belanja, nonton sinetron, mirasantika, main games, atau jenis-jenis lain. Kitalah yang menyerahkan diri untuk melupakan timbangan kesehatan, untung-rugi kantong, dan dijajah oleh pilihan kita. 
  Nah, bagaimana soal perempuan dan asap? Menurut data Center of Disease Control and Prevention AS, pada 2010, 10 persen perempuan dewasa di dunia merokok dan di Indonesia masuk ranking ke-13 sebagai negara dengan jumlah perokok perempuan terbanyak. Nggak heran karena Indonesia masuk lima besar negara dengan jumlah perokok terbanyak.
  Seharusnya, merokok memang dilihat secara bebas gender dan bebas praduga, tapi sekali lagi berterima kasihlah kepada masyarakat berstandar ganda yang maha-plinplan tersebut. Berangkat dari stigma pantas dan tak pantas itu pula, ada generalisasi itu berubah reaksi. Beberapa teman perempuan secara sengaja memilih merokok untuk mendobrak tatanan, menghapus stigma, dan menyatakan sikap. Yang lain ingin melabrak tatanan gender. Karena merokok selalu soal kejantanan, mereka ingi menunjukan bahwa mereka pun bisa sama jantan secara pilihan candu. 
  Hasil survei Koalisi untuk Indonesia Sehat pada 2010 menyebut bahwa 54,59 persen remaja dan perempuan merokok dengan tujuan mengurangi ketegangan dan stres, lainya beralasan untuk bersantai 29,36 persen, merokok sebagaimana dilakukakan pria 12,84 persen, karena pertemanan 2,29 persen, dan 0,92 persen ingin diterima di pergaulan. 
  Fakta terakhir yang memiriskan hati itu tak jarang dianut para perempuan perokok amatir. Rokok adalah standar kekeranan. Tak jarang saya melihat disalah satu kedai kopi asal Amerika, perempuan-perempuan berusia 15-16 tahunan berkelompok, adu mahir menggantang asap dari bibir. 
Mungkin ini tak lepas dari jiwa muda yang sok rock n roll dan ingin mencicipi banyak hal. Generasi yang lebih takut nggak bisa update status media sosial daripada punya paru-paru bolong. 
  Tapi, sekali lagi, buat saya, merokok bukan masalah gender, isu yang pantas cuma sadar kesehatan. Sebab, saya yang sok modern ini pun tak sepenuhnya steril dari godaan rokok dan merokok. Cuma, saya memilih tidak lagi diperbudak candu. Memilih jadi Tuhan daripada jadi korban. 
  Mari kita bungkus saja persepsi bahwa merokok adalah pilihan personal dan memilih program kecanduan sama personalnya seperti memilih agama. Kita anggap saja semua yang merokok itu sudah tahu konsekuensi dari pilihan hidupnya. Sebab, seperti iman, sudah membuat orang berhenti membakari paru-parunya hanya dengan kata-kata, sama mustahilnya dengan menakut-nakuti hanya dengan gambar paru-paru compang-camping. Biar seperti hidayah, berhenti merokok itu datang sendiri.
  Tapi, merokok instan jadi urusan haram saat dilakukan seorang ibu di dekat anak-anaknya. Saya rasa mereka yang merokok dengan sengaja didepan anak pasti lupa membawa akal sehatnya keluar rumah. Mungkin pertimbangan otaknya tertinggal dilemari. Bayangkan muka-muka lugu dan tak berdosa anak-anak yang disemburi asap karena tidak di izinkan untuk memilih. 
  Alam mengatur secara timpang bahwa yang pasif-lah yang akan jadi korban paling parah. Mereka yang tidak berbuat sering yang jadi korban. Di situlah anak-anak yang diasapi itu di dudukan. Mereka nggak berdaya memilih. 
  Tapi, kemarin saya juga sama nggak berdayanya saat melihat sekumpulan ibu-ibu yang serempak mengasapi anak-anaknya di meja sebelah. Gelembung batas personal dan rikuh rasanya kabur dan jauh. Mata saya cuma nggak habis-habis memandang anak-anak yang sibuk makan mie goreng dari piringnya. Rasanya lidah saya lesap. Hilang kata untuk menegur ibu-ibu itu satu-satu. Saya cuma berharap mereka tak lupa membawa akal sehatnya lain kali. Semoga Tuhan mendengar doa saya. (*)

Rabu, 08 Januari 2014

KEPALA RELIGIUS VERSUS PINGGUL SEKULER

RAMADAN dan banyak hijaber dadakan. Sebagaian berwujud selebriti di aneka acara berbalut religi, tapi sama sekali tak agamais. Sebagian lagi di jalan , di mal, di pengajian, di acarabuka puasa bersama, di acara amal dan lain-lain. Para hijaber kasuistik. Yang berhijab karena menyesuaikan tema bulan.
Teman saya, gadis cantik bernama Cahya, adalah pendiri salah satu komunitas  besar perempuan berhijab di Indonesia dengan kegiatan yang tersebar di 30 kota. Motivasi awalnya saat berhijab adalah menutup pesona. Dia lelah salah dimaknai lingkungan karena penampilan fisiknya. Ternyata, hijab membuka banyak usaha toko online, hingga jadi pemenang kompetisiperempuan profesional yang di adakan  sebuah perusahaan kosmetik.
saya membaca sebuah tulisan pendek kemarin, edisi akhir pekan sebuah koran. Cerita tentang bagaimana perempuan memperlakukan tubuhnya. tentang anak gadis yang ber-Hot pants atas nama tubuhnya adalah milik dan hak nya, maka pakaian adalah ekspresi diri dan kemerdekaan. Juga tentang seorang istri yang memilih berhijab-bercadaratas nama tubuhnya adalah milik-Nya. Wacana menarik dan membuat saya tergelitik. Bagaimana mereka yang menutup kepalanya, tetapi berbaju ketat di dada, di pinggul, dan berbahan menerawang,. Mereka berbusana atas nama apa?
Atas nama siapa???
Dari sebuah liputan CNN, saya menculik suatu istilah menarik, "Jakarta is the new Mecca for Moslem fashion industry". Sebagai Makkah, Jakarta menjadi kiblat. Artinya seluruh gaya berbusana muslimah di dunia di tentukan di sini. Bagai paris, Jakarta adalah panutan untuk urusan tutup kepala, abaya, serta tunik. tak aneh Dian Pelangi di undang fashion show hingga paris.
Jenahara, yang juga anak fashion designer sekaligus penyanyi Ida Royani, diundang ikut Hongkong Fashion Week.
Ibu saya sudah bergelar hajah. Setahun sebelum naik haji pun, hobinya sudah mengumpulkan hijab aneka model dan umurnya. Sudah tak pantas ke sana kemari telanjang kepala.
Beberapa bulan lalu saya mengganti foto diri di kolom Halau Galau. Sebelumnya berpose misterius,hitam putih dengan bibir merah merona.  Lalu, Untuk mengesankan bebas Galau, saya menggantinya dengan foto tersenyum cerah dan rambut mnegembang.
Tahu nggak, ada seorang pembaca, lelaki, yang mengirimi saya surat elektronik dan menegur. Intinya, dia menyayangkan, kenapa saya yang sebelumnya menutup kepala memutuskan untuk mengumbar rambut. Ini persepsi yang salah karena sejak awal rambut saya tak ditutup, malah bentuk baju yang ala kimono itu cukup terbuka, hanya di akali dengan di sunting sebatas bahu. Ada penghakiman sepihak. Tuduhan berdasar sudut panjang. Seolah saya berubah isi hati dan kadar keimanan. Hanya karena perkara sepotong foto.
Dari semua potongan-potongan cerita tersebut, ada sesuatu yang mengelitik saya seputar hijab: kepala yang religius versus pinggul yang sekuler. Izinkan saya yang belum berhijab ini berbaik sangka dan mengungkapkan pendapat.
Terlepas dari hijab adalah perkara fenomena tren dan fashion, semoga perempuan semua berhijab memutuskan menutup semua auratnya karena panggilan hati. Anggaplah bahwa tren hijab ini adalah ajakan masal untuk berbuat kebaikan.
Nah, sekarang waktunya masyarakat untuk sebaliknya menyekulerkan kepalanya dan mereligiuskan pinggulnya. Berpikir dan berbaik sangka terhadap perbedaan. Bahwa penampilan adalah pilihan dan ekspektasi karena pilihan penampilan itu wajar. Tapi, waktunya berhenti menghakimi dan bersikap sok benar. Waktunya belajar dan mampu menata hasratnya. Sebab, tubuh perempuan adalah berkah, bukan musibah, sehingga harus dituduh-tuduh memancing syahwat melulu. Kami, perempuan, lelah di dakwa. (*)