Senin, 17 Februari 2014

SURAT TERBUKA DARI PERAWAN TUA

    SAYA pernah punya cita-cita menikah muda, muda sekali, umur 21 tahun. Saat kecantikan dan kesegaran sedang mekar-mekarnya. Saat cinta sedang buta-butanya. Tapi tak lama, logika mengambil duduk di kursi kemudi.
    Lalu tiba-tiba dalam hitungan hari, saya akan menimang umur baru, 35 tahun, dan masih melajang. Tapi, tahun ini mungkin kegelisahan umur baru tidak telalu menyiksa karena saya punya pasangan baru (ya Saudari, ini bentuk pamer terselubung). Rasanya, setelah lewat 30 tahun, kegelisahan menambah satu angka di deret umur kita tidak lagi begitu menyiksa. Lebih terasa wajar dan hampir tanpa drama yang berarti.
    Kulit mungkin mulai mengendur, garis senyum makin dalam, selulit makin susah dihapus, dan perut makin mustahil diratakan. Tapi, secara pasti dan meyakinkan ada satu hal yang lebih susah dihapus, sigma masyarakat: perawan tua. Well, perawan mungkin tuduhan serius untuk banyak perempuan di umur selanjut saya. Mungkin banyak juga yang sudah melepas keperawananya jauh-jauh hari, tapi anggaplah itu sangkaan baik dari masyarakat pada golongan eksklusif ini. Saya bilang eksklusif karena makin hari jumlahnya makin besar, makin hari umur anggotanya makin senior, yang senior biasanya malah jadi anggota abadi.
    Saya sebagai anggota kelas menengah, belum terlalu senior, tapi tentunya tak lagi junior, punya misi memperbaiki pandangan masyarakat atas ikatan senasib sepenanggungan ini. Bahwa kami para anggota ikatan ini tidaklah semendeita itu. Memang ada masanya hati menjerit iri melihat gadis-gadis yang jauh lebih hijau sudah lebih sibuk dengan belita-belita lucu dan pilah-pilih dekor rumah baru di Ace Hardware. Tapi, kami pun sepenuhnya menyadari bahwa bangun siang saat Minggu luar biasa nikmat, menghabiskan seharian pijat-lulur-manikur-pedikur-belanja adalah surga dunia yang bisa dibeli manusia.
    Banyak tuduhan bahwa kami tukang pilih, bsnysk mau, kurang bersyukur, dan nggak mau berdama dengan keyataan. Itu sebenarnya wajar. Anggota ikatan kami biasanya memang perempuan-perempuan yang lebih punya banyak pilihan. Karena terbiasa berdiri di kaki sendiri, biasanya kami lebih mandiri, baik secara ekonomi maupun sosial. Bukan nggak mau tau kurang brsyukur kalau kami mencoret para lelaki dari jadwal calon bapak aanak-anak karena kami percaya bahwa sejatinya pasangan bukan pelengkap, tapi bonus. Hidup kami sudah bahagia atau kami usahakan sebisanya bahagia.
    Menegenai banyak mau, kami telah begitu lama sendiri. Kami sungguh tahu apa yang kami mau. Sebagai pribadi, kami telah bekembang sempurna. Kami bukan lagi gadis lugu awal 20-an, yang hidup masih dengan pensil 12 warna, rasa arum manis. Buat kami, hidup lebih kaya, pensil 36 warna, rasa asam-manis-asin-pahit-sepat. Tidak mudah mencari pandanan wadah untuk batu es yang sudah jadi. Tentu kami bisa mencair sedikit demi sedikit, tapi butuh waktu dan pengorbanan. Kami juga pandai berhitung untung-rugi, kalkulatif.
    Yang kami cari, teman seperjalanan yang sama mandiri, yang sama tahan bantingnya. Hidup tak mudah dan tak murah, maka setidaknya butuh surviving skill yang mumpuni. Maka, lelaki-lelaki manja, tolong hargai waktu kami. Izinkan kami mencari yang kami mau dan butuh.
Pada saatnya kami menemukan orang yang kami pandang tepat. Kami pun tak akan bertindak "nganeh-nganehi" bin muskil. Menyadari bahwa kami yang tak sempurna, juga tak akan bersanding dengan yang sempurna lahir-batin.
    Tenang, kami adalah mahkluk yang cukup realistis dan pandai bersyukur. Tapi, dalam penantian yang panjang, kami juga punya cukup waktu untuk menanyakan kepada hati kecil apa sebenarnya yang kami cari pasangan. Yang kami sunggu cari, bukan serangkaian kepantasan dan kebanggan yang diharapkan dari lingkungan sosial.
    Mohon doa tulus dari para pembaca sehingga sebagaian besar diantara kami kami cukup tangguh dalam menghadapi peer pressure, tidak terdesak keadaan, dan menyerah kalah. Semoga kami semua diberkahi kesempatan memilih pria yang benar. Atau, tetap menjadi anggota ikatan perempuan perawan tua dnegan bangga dan bermartabat. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar