Senin, 17 Februari 2014

HELLO GOODBYE

     HIDUP TAK ADA YANG ABADI

    Seperti roti tawar keluaran pabrik, perhatikan tanggal kecil di tag pengikat plastiknya. Semua punya expired date alias tanggal kadaluwarsa.

            CINTA?

    KALAU sedang cinta-cintanya, rasanya hati pengin dikasih formalin, ditaruh didalam freezer, dalam kantong plastik tervakum. Pengin menjaga selama mungkin deg-degannya, pipi semu merah jambunya, rasa kupu-kupu beterbangannnya, dan kangennya.
    Tapi, cinta masa pacaran mana ada yang abadi. Cinta di perkawinan saja juga belum tentu jadi jaminan, masih ada selingkuhanya, masih ada kawin laginya, masih ada cerainya. Walau semestinya ada nggak ada cinta, perkawinan adalah masalah komitmen, masalah mengusahakan, masalah mau nggak mau tapi harius mau. Karena perkawinan bukan lagi urusan orang, ada anak-anak yang ikut jadi penumpang. Walau tetnu saja, pada akhirnya yang paling penting adalah kebahagiaan tiap-tiap yang ada didalamnya.

            PEKERJAAN?

    Pekerjaan adalah yang paling rentan diantara yang rentan. Anda bisa dipecat kapan saja. Satu hari jadi directur, hari berikutnya harus berujuang cari uang. Apalagi kalau pekerjaan di nilai sebagai bagian dari identitas diri, eksitensi diri, yang tanpanya kita sungguh bukan siapa-siapa, bukan apa-apa.
    Pekerjaan mungkin sumber ekonomi, apalagi jika satu-satunya sumber keuangan. Apalagi jika kebahagiaan disandarkan hanya dan hanya pada uang. Rasanya mau mati saja.


    Hidup? Pernah lihat film 90-an, Death Becomes Her? Film satir, dengan Bruce Willis sebagai dokter bedah plastik, Meryl Streep, dan Goldie Hawn. Dua aktris perempuan tadi dikisahkan meminum ramuan khusus awet muda yang sekaligus juga jadi ramuan awet hidup, tak bisa mati.
    Bayangkan asanya hidup tak bisa mati, padahal onderdil tubuh sudah berkarat, jebol, bahkan nggak mampu lagi berfungsi. Sementara jantung keras kepala, berdenyut terus. Hidup terlalu panjang umur mungkin tak terlalu menyenangkan. Anda akan mengalami terlalu banyak kehilangan. Mungkin ucapan selamat ulang tahun, semoga panjang umur patut direvisi jadi selamat ulang tahun, semoga cukup umur.
   
Mungkin sendikat Club 27, yang dikepalai Kurt Kobain, Jim Soe Hok Gie bisa jadi hal yang menarik. Mati muda, saat hidup sedang senang-senangnya, kondang-kondangnya.

    Tapi, sebuah akhir seharusnya dilepas dengan cara yang pantas. Sebuah perfect closure, akhir yang sempurna. Sebuah kisah cinta mungkin sebaiknya diakhiri dengan sebuah konsensus damai antara dua pihak.

    Jika sebuah pertemuan berhenti mewah, setidaknya kirimlah sebuah surat penyataan berhenti hubungan cinta. Setidaknya si mantan kekasih berhak mendapat semua penjelasan. Jangan lempar cinta sembunyi tangan. Jangan mau cintanya, putusnya lari tanpa tanggung jawab.
   
    Kalau urusan pekerjaan. Ya relakanlah. Keluarlah dari ruang kerja Anda dengan kepala tegak dan hati yang bangga. Ada rezeki ditempat baru, yang mana tahu lebih baik, lebih manfaat, lebih mufakat.

    Kalau soal hidup, jalani saja. Carpe diem. Seize the day. Anda tak pernah tahu apa yang akanh terjadi besok, bahkan satu jam ke depan. bahka satu menit atau satu detik ke depan. Jalani saja dengan bahagia yang maksimal. Spend the happiness, everyday. Tak perlu menahan-nahan rasa, terlalu takut-takut untuk merasa bahagia dan memperjuangkannya.
   
    Mending Anda sudah tahu rasanya bahagia yang maksimal daripada sibuk menduga-duga, mengira-ngira. Cintai dan pastikan orang yang Anda cinta tahu bahwa Anda mencintai mereka. Mana tahu, Anda atau mereka pergi lebih dahulu.
Seandainya saya punya kesempatan melepas orang-orang yang saya sayang dengan cara pantas, saya akan memastikan mereka tahu betapa mereka disayangi. Pastikan Anda tak "ditipu" nasib, dipecundangi, dicurangi, ditinggal pergi tanpa salam.

    Maka, ini akhir yang semestinya jadi awal. Selamat Senin! Apa kabar? Ini akan jadi Senin terakhi Halau Galau menyapa Anda.
Terima kasih untuk semua e-mail, semua RT, semua komentar, baik secara virtual maupun langsung, selama kurang lebih 21 bulan setia bersama. Membaca kegelisahan saya, yang mungkin juga jadi kegelisahan terdiam Anda. Sama-sama menyalakan lampu di hati dan otak masing-masing, saya dan Anda.
   
    Semoga segera ada jodoh ketemu lagi. Tapi, hidup seperti nasibnya, tak harus abadi. Ini bukan *Selamat Tinggal,"Ini adalah sebuah "Sampai Ketemu Lagi!(*) 

BERAGAMA KARENA MINDER

   Saya telihat diskusi seru dengan vokalis band rock hari itu. Awalnya,lagi-lagi adalah sebuah twit. Pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan dan ketuhanan selalu menarik untuk saya. Menurut saya nggak pernah ada habisnya, nggak pernah basi, sekaligus nggak pernah pasti. Serbarelatif dengan pintu-pintu kemungkinan selalu bisa dibuka-ditutup.

    saya pernah menulis sesuatu tentang sesuatu yang kurang lebih mirip sebelumnya di Halau Galau. Tentang apakah manusia tetap berbuat baik jika surga dan neraka ternyata tidak ada? Apakah manusia tetap berbuat baik tanpa pamrih? Apakah manusia tak akan berhitung untung-rugi? Apakah dunia lebih baik jika manusia tak di iming-imingi pahala? Atau, mungkinkah dunia jadi lebih kisruh karena semua oang cuma mementingkan diri sendiri dan nggak peduli pada kepentingan orang lain?
    Disekitar waktu yang sama dengan diskusi Twitter itu, saya meonton sebuah film komedi romantis karya sutradara Ricky Gervais.
Ceritanya sederhana, seorang lelaki biasa-biasa saja, mukanya biasa-biasa saja, dan dompetnya tak kalah biasa-biasa saja naksir pada gadis cantik. Sebagai lazimnya perempuan cantik, tentu si gadis pasang harga. Ternyata di Hollywood pun berlaku premis Jawa, "lanang menang milih, wedok menang nolak".
    Judul film itu mungkin bisa memberikan gambaran, The Invention of Lying. Di film yang dibuat pada 2009 tersebut dceritakan, seluruh warga sebuah kota jujur. Semua disampaikan blaka sutha, apa adanya, tanpa ditimbang-timbang, dipikir-pikir.
    Warga kota pun akhirnya kuat mental karena paling menyakitkan dikuping dan dihati. Sampai suatu hari, si lelaki, yang diceritakan sebagai pembuat film yang kepepet, tak sengaja berbohong. Ternyata berbohong membebaskan diri dari masalah dan membuat hidupnya lebih mudah. Nenek si lelaki bisa menghadapi kematianya dengan senyum lebar dan bebas ketakutan saat dia didongengi tentang keindahan surga. Otak saya tergelitik, bagaimana jika surga yang kita harap-harap cemaskan itu ternyata hanya dongeng?
    Kali ini saya meminta izin untuk sejenak melepaskan pembicaraan ini dari apa yang kita dengar dari kitab-kitab dan segala doktrinya. Saya ingin membebaskan diri dengan pertanyaan-pertanyaan "bagaimana seandainya". Kenapa sih saya beragama? Tentunya karna saya tak tahu rasanya tidak beragama.
    Apa sih gunanya saya beragama? Saya berpikir lama-lama. Dalam-dalam. Sungguh saya nggak punya jawaban tepat atau paling tidak mendekati memuaskan hati kecil saya sendiri. Mungkin karena takut. Tahu kan hebatnya clerical bullying?
Tindakan penekanan tersistem atas nama agama dan Tuhan, tentang benar-salah, lebih benar daripada yang lain, dan lain-lain ? yang beragama, tapi minoritas saja bisa hidup susah dan terlunta-lunta. Dibakari rumahnya, di rongrong rumah ibadahnya, dilempari ritualnya, apalagi yang memilih tidak beragama kan?
    Tapi, apa iya karena ketakutan saja? Saya timbang-timbang, mungkin karena saya takut, tapi jenis ketakutan yang berbeda. Saya beragama karena perlu tambahan percaya diri, saya ternyata nggak cukup percaya diri dengan kekuatan diri sendiri. Saya tenyata cukup minder kalau ternyata semua jalan hidup saya sepenuhnya ada di tangan saya sendiri.  Saya belum cukup pede menghadapi kenyataan bahwa ternyata saya yang mengontrol kehidupan ini dan menentukan tak ada kekuatan serbahebat, serbakuat, serbaajaib, yang bisa menyelamatkan saya.
    Seandainya surga dan neraka tidak pernah ada, apakah saya tetap beragama? Mungkin, ya. Hidup saya ini sederhana. Untuk saya yang hidup hanya untuk hari ini saja, yang sok carpe diem ini, yang lebih penting dipikirkan adalah yang terjadi hari ini, titik ini. Pilihan beragama saya lagi-lagi ya karena alasan praktis-praktis saja.
    Ternyata saya cuma mahkluk minder rendahan yang membutuhkan agama dan Tuhan. saya butuh diberi harapan, dititik paling jatu akan ada kekuatan untuk berdiri, di lubang paling gelap akan ada ujung cahaya. Saya memilih kalah dan percaya. (*)

SIM SULAMBIM

  Zaman instan. Dalam hitungan menit atau jam, semua beres. Termasuk, urusan kecantikan. Sim salabim, tinggal ke salon, bibir jadi merah merekah, alis tebal bagai semut beriring, dan ssst.. puting pun bisa instan jadi merah jambu.
 
  BEBERAPA hari bekerja dari rumah dan jeda di antara jam kerja saya manfaaatkan dengan sangat tidak bermanfaat: menonton infotainment.
  Dalam beberapa hari ini, saya paham betul fakta bahwa jepit jemuran sangat berjasa untuk pemancungan hidung Mpok Atik meski ternyata untuk mengangkat tambalan silikon itu, dia membutuhkan 16 kali operasi. Ada juga skuter, selebriti kurang terkenal, yang saya pun alpa namanya, yang jadi agen promosi terselubung salon sulam alis dan bibir kristal untuk kaparipurnaan penampilan. Tapi, halau saya hari ini khusus untuk urusan sulam-menyulam.
Saya pun mulai mengumpulkan info seputar"sim sulambim". Ini beberapa fakta yang saya dapatkan.
 
  -Harga berkisar Rp 600 ribu-Rp 4 juta untuk alis, sedangkan untuk bibir Rp 500 ribu-Rp 1,5 juta. Untuk hitungan rajah, ini mahal mengingat ukuran alis yang cuma seciprit. Ditukang tato konvensional, biasanya harga di hitung berdasar sentimeter bidang kulit. Eh, anda sepakat kan bahwa sulam adalah upaya pengimutan sekaligus manipulasi pasar untuk jenis tato arsir tipis di alis? Paling tidak secara alat dan teknologi yang digunakan. Tapi, hampir di semua salon yang yang saya survei, sulam dikerjakan tenaga ahli dalam negeri nondokter.

  -Untuk jenis alis, pilihanya bahkan lebih canggih daripada teknologi TV, mulai 2D,3D,hingga 6D, dengan warna yang belum full color, kecuali nekat. Yang membedakan adalah teknik dan alat. Semakin tinggi, semakin canggihlah kualitas alis Anda, semakin mahal juga. Tapi tak seperti TV atau bioskob, makin tinggi dimensi tak berarti alis Anda bisa mengeluarkan special effect seperti keluar-keluar dari foto atau efek gerak dan semprotan air.
Sulam alis sejatinya adalah tato alis 2.0. Dulu tato alis adalah jenis alis blok hitam berkesan galak dan palsu yang kelamaan berubah hijau (tolong janga bayangkan Hulk di sini). Dulu berlaku seumur hidup, sementara sekarang hanya bertahan rata-rata di 2-3 tahun. Tampaknya, pelaku kecantikan percaya premis dan ala lagu Peterpan, tak ada yang abadi. Untuk bibir, ada dua pilihan. Yakni, memerah jambu alami dengan aplikasi tinta warna herbal dari kembang-kembangan atau efek memerah basah sensual alami dengan gosokan kristal dan serbuk mutiara.

  -Aturan mainya terlarang untuk yang menstruasi dan diabetes. Bisa memerah, bengkak, dan kebas beberapa jam, juga berdarah di beberapa kasus. Jenis pantangan makan sejenis dengan pasien sunat; cabai, sapi, dan seafood selama sebulan. Tapi, syarat paling penting kantong yang waspada dan siap dirogoh kapan saja.
  Kemarin di mal saya berjumpa dengan tante-tante bersasak tinggi yang mengempit erat-erat Bikin bag-nya saat satu lift dengan pria bertato sepenuh lengan.
Matanya juga mendelik saat melihat gadis manis bertato kupu-kupu di punggung. Skeptis. Rasanya pengen kasih salam ke alisnya yang bersulam.
  Lalu tak lama, di salah satu milis ada seorang perempuan yang menjelekan satu salon penyedia servis sulam alis karena sudah 6D, eh tetap tidak kelihatan alami. Namanya juga bikinan, ya mbok terima nasib kalau cuma bisa mirip.
  Masih gara-gara infoainment, beberapa selebriti menolak mentah-mentah di dakwa cantik hasil permak, kata mereka semua asli dari sononya. Padahal, jelas-jelas bibir lebih sensual, alis menebal, hidung meramping meninggi, dagu mruncing tiba-tiba berbelah. Mbok kalau palsu ya palsu saja, nggak usah berlagak asli. malu sama mbak salon dan foto masa (jelek) dulu.
  Ya, ini kritik tebuka untuk para pelaku sim salabim. Semoga walau luarnya palsu, yang dalam-dalam tetap asli. Haish, hatinya!!! (*)

MANAJEMEN DOSA

   TULISAN ini nggak orisinil-orisinil amat karena terinspirasi tulisan seseorang dimedia alternatif berbasis web. Penulisnya seorang gay, menulis tentang 10 hal yang mungkin perlu diketahui tentang gay yang muslim di Indonesia.
    Ilustasi awalnya menarik, tentang sebuah acara makan-makan. Dia di sindir masih kekeuh nggak makan babi. Sementara, dia memilih jalur hidup alternatif dengan mengencani gender sejenis. Ditulis kalau tentang timabang-menimbang, bisa dikatakan makanan haram lebih ringan timbanganya daripada zina dengan yang sejenis pula.
    Kalau berbicara tentang dosa, apa masih perlu menjaga diri dari yang kecil-kecil, sementara menjalankan dosa yang lebih besar? Apa ini murni perkara menjaga keseimbangan timbangan, sehingga pantas masuk surga atau neraka?
    Rasanya manusia adalah mahkluk yang hobi pilih-pilih. Memilih ibadah yang mudah-mudah, memilih dosa yang enak-enak, memilih pahala yang murah-murah. Bukankah?
Tentang dosa, tentu sekali lagi, bukan urusan kita. Menungsa mung nrima ngelakoni. Berbuat dan berbuat, sebisanya tanpa pamrih, berbalas suga atau neraka. Tapi, kita ternyata punya tendesi untuk membikin pembolehan -pembolehan.
    Dosa-dosa apa saja sih yang lumrah dipilih untuk dilakukan? Berdusta. Berkata berbohong. Entah untuk motif atau maksud apa, entah untuk motif atau maksud apa, entah untuk motif atau maksud siapa. Yang pasti, ada keuntungan yang ingin ditangguk. Ada keinginan untuk manipulasi keadaan.
    Haram kedua yang lumrah adalah urusan perut. Banyak jenis makanan dan minuman yang dilarang agama tertentu. Tapi, sayangnya, selalu berlaku bahwa makin terlarang makin menantang. Ada nilai subjektif yang bicara. Kadang yang haram memang sungguh lebih nikmat. Tapi, kadang lidah berdusta bahwa suatu hal terasa lebih nikmat karena nilai telarangnya.
    Ada kepuasan setelah menerabas aturan, mengadali aturan. Dari lingkungan terdekat saya, yang terdii atas singgungan minuman yang beralkohol, kecuali dengan alasan kesehatan. Dari sisi makanan pun tak jauh berbeda.
Makanan terlarang kerap mampir ke lidah. Kadang, ironisnya, dokter penyakit lebih punya kuasa melarang daipada Tuhan. Manusia lebih takut kolestrol dan stroke daripada masuk neraka.
    Dosa kelamin, dalam aneka derakjat. Mulai menyentuh yang belum halal hingga menyentuh yang dilarang dan terlarang. Ini dosa yang paling nikmat, paling melenakan. Kadang pula manusia berburuk sangka pada Tuhan.
"Kenapa sih yang enak-enak selalu yang di larang?"
    tanpa dipromosikan, makin banyak perempuan yang melepas keperawanan jauh sebelum menikah, makin banyak yang punya anak tanpa ikatan penikahan, makin banyak yang berselingkuh dengan istri-suami orang.
    Sebuah petanyaan menarik menggelitik saya. Saat urusan kelamin saa primernya dengan uusan makan, mengapa diatur sebegitu susah dengan begitu banyak aturan?
yang saya tahu, manusia melakukan manajemen dosa , memilih dan memilah. Menimbang kekuatan mental untuk mengontrol diri dan kemampuan. Kadang pula manusia melemahkan diri dengan sukarela. Kadang dititik ekstrem, mereka memilih menghindari yang ringan-ringan, tapi malah melakuakan yang berat-berat, yang efeknya tidak cuma ke pribadi, tapi menyangkut jauh lebih banyak orang.
    Dosa-dosa personal adalah dosa-dosa yang mengikat pribadi-pribadi pada hal-hal yang paling pribadi. Mungkin inti pengaturan dosa adalah mendidik untuk mengendalikan dii dari hal-hal kecil. Dengan demikian, manusia tidak gegar menghadapi godaan untuk hal-hal yang lebi besar.
    Manusia tenyata tak pernah ikhlas menjalani. Ada harapan, masih ingin masuk surga, setidaknya menyamakan berat timbangan dosa dan pahala. Masih berbuat dosa sih, tapi nggak banget-banget gitu. Misal ada 100 jenis dosa, setidaknya nggak kebangetan melakukan seratus-seratusnya. Paling tidak, Cuma melakukan 98-99nya.
    tapi, sayangnya, manusia selalu punya 1.001 alasan. Mungkin kita terbiasa berpikir jangka pendek. Surga dan neraka adalah ide sureal, sebuah ide. Nikmat duniawi lebih nyata daripada janji tentang akhirat.
    Tapi, sekali lagi, siapa saya? Andalah yang menentukan buku catatan Anda masing-masing. (*) 

    TULISAN ini nggak orisinil-orisinil amat karena terinspirasi tulisan seseorang dimedia alternatif berbasis web. Penulisnya seorang gay, menulis tentang 10 hal yang mungkin perlu diketahui tentang gay yang muslim di Indonesia.
    Ilustasi awalnya menarik, tentang sebuah acara makan-makan. Dia di sindir masih kekeuh nggak makan babi. Sementara, dia memilih jalur hidup alternatif dengan mengencani gender sejenis. Ditulis kalau tentang timabang-menimbang, bisa dikatakan makanan haram lebih ringan timbanganya daripada zina dengan yang sejenis pula.
    Kalau berbicara tentang dosa, apa masih perlu menjaga diri dari yang kecil-kecil, sementara menjalankan dosa yang lebih besar? Apa ini murni perkara menjaga keseimbangan timbangan, sehingga pantas masuk surga atau neraka?
    Rasanya manusia adalah mahkluk yang hobi pilih-pilih. Memilih ibadah yang mudah-mudah, memilih dosa yang enak-enak, memilih pahala yang murah-murah. Bukankah?
Tentang dosa, tentu sekali lagi, bukan urusan kita. Menungsa mung nrima ngelakoni. Berbuat dan berbuat, sebisanya tanpa pamrih, berbalas suga atau neraka. Tapi, kita ternyata punya tendesi untuk membikin pembolehan -pembolehan.
    Dosa-dosa apa saja sih yang lumrah dipilih untuk dilakukan? Berdusta. Berkata berbohong. Entah untuk motif atau maksud apa, entah untuk motif atau maksud apa, entah untuk motif atau maksud siapa. Yang pasti, ada keuntungan yang ingin ditangguk. Ada keinginan untuk manipulasi keadaan.
    Haram kedua yang lumrah adalah urusan perut. Banyak jenis makanan dan minuman yang dilarang agama tertentu. Tapi, sayangnya, selalu berlaku bahwa makin terlarang makin menantang. Ada nilai subjektif yang bicara. Kadang yang haram memang sungguh lebih nikmat. Tapi, kadang lidah berdusta bahwa suatu hal terasa lebih nikmat karena nilai telarangnya.
    Ada kepuasan setelah menerabas aturan, mengadali aturan. Dari lingkungan terdekat saya, yang terdii atas singgungan minuman yang beralkohol, kecuali dengan alasan kesehatan. Dari sisi makanan pun tak jauh berbeda.
Makanan terlarang kerap mampir ke lidah. Kadang, ironisnya, dokter penyakit lebih punya kuasa melarang daipada Tuhan. Manusia lebih takut kolestrol dan stroke daripada masuk neraka.
    Dosa kelamin, dalam aneka derakjat. Mulai menyentuh yang belum halal hingga menyentuh yang dilarang dan terlarang. Ini dosa yang paling nikmat, paling melenakan. Kadang pula manusia berburuk sangka pada Tuhan.
"Kenapa sih yang enak-enak selalu yang di larang?"
    tanpa dipromosikan, makin banyak perempuan yang melepas keperawanan jauh sebelum menikah, makin banyak yang punya anak tanpa ikatan penikahan, makin banyak yang berselingkuh dengan istri-suami orang.
    Sebuah petanyaan menarik menggelitik saya. Saat urusan kelamin saa primernya dengan uusan makan, mengapa diatur sebegitu susah dengan begitu banyak aturan?
yang saya tahu, manusia melakukan manajemen dosa , memilih dan memilah. Menimbang kekuatan mental untuk mengontrol diri dan kemampuan. Kadang pula manusia melemahkan diri dengan sukarela. Kadang dititik ekstrem, mereka memilih menghindari yang ringan-ringan, tapi malah melakuakan yang berat-berat, yang efeknya tidak cuma ke pribadi, tapi menyangkut jauh lebih banyak orang.
    Dosa-dosa personal adalah dosa-dosa yang mengikat pribadi-pribadi pada hal-hal yang paling pribadi. Mungkin inti pengaturan dosa adalah mendidik untuk mengendalikan dii dari hal-hal kecil. Dengan demikian, manusia tidak gegar menghadapi godaan untuk hal-hal yang lebi besar.
    Manusia tenyata tak pernah ikhlas menjalani. Ada harapan, masih ingin masuk surga, setidaknya menyamakan berat timbangan dosa dan pahala. Masih berbuat dosa sih, tapi nggak banget-banget gitu. Misal ada 100 jenis dosa, setidaknya nggak kebangetan melakukan seratus-seratusnya. Paling tidak, Cuma melakukan 98-99nya.
    tapi, sayangnya, manusia selalu punya 1.001 alasan. Mungkin kita terbiasa berpikir jangka pendek. Surga dan neraka adalah ide sureal, sebuah ide. Nikmat duniawi lebih nyata daripada janji tentang akhirat.
    Tapi, sekali lagi, siapa saya? Andalah yang menentukan buku catatan Anda masing-masing. (*) 

KECANDUAN

  Apa candumu? Jangan jawab asmara, apalagi kalau Anda sama sekali bukan Cici Paramida. Kalau Anda menjawab, tak ada, mungkin wajib waspada kualifikasi tahap pertama: penyangkalan.
   
    Sesungguhnya semua adiksi, kecanduan, di ciptakan acara sukarela. Ibarat tamu, dia diundang masuk rumah dengan tangan terbuka. Sayangnya, kecanduan suka betah dan merasa dirumah sendiri, bertindak sesuka hati. Bahkan, si tuan rumah harus ikut kata si tamu. Anda tertawan, tak bisa melawan.
    Kecanduan seperti lagu, "mulanya biasa saja." Itu analisis sok tahu saya tentang kecanduan. Kecanduan biasanya timbul karena ada kemampetan. Kecanduan bisa jadi jalan kelua atau upaya pengalihan dari isu utama.
    Kedua, inti kecanduan adalah gagal kontrol. Sebab, bentuk kecanduan bisa bermacam-macam dan pada awalnya tak berbahaya, sampai disatu titik ia menguasai kehidupan seseorang.
    Ketiga, karena awalnya biasa saja, kecanduan cenderung dianggap remeh, dispelekan. Karena bukan hal yang bahaya, dilakukakn repetitif, ditingkatkan dosisnya terus menerus, hingga sampai ketempat yang paling ekstrem.
    Keempat, pada saatnya, ketika Anda hilang kendali, ada kecenderungan untuk menyembunyikanya. Mencoba aneka cara jadi tabib, mengobati diri sendiri, karena merasa malu untuk mencari pertolongan dari pihak yang bisa dipertanggung jawabkan. Tapi seringnya, semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur.
    M, 34, seorang wota sejati. Wota adalah sebutan untuk fans berat sebuah idol grup yang tediri atas gadis-gadis muda baru lulus pubertas. Saking ngefans-nya, dia berduyun-duyun bersama para wota lain rela memadati teater demi melihat langsung grup idola atau sekedar berjabat tangan beroleh stiker lucu.
    Bahkan, kompsisi tweet harianya 75 persen berisi mention anggota grup (yang tak pernah dibatas), membahas betapa lucunya si ini dan si itu, dan ujaran-ujaran khas pemuja. Saya tanya, "Istrimu nggak papa?" "Gak papa, dia aku ajak juga lihat teater".
    P,34, punya kecanduan pijat. Dia bisa pijat setiap hari. Mungkin itu pelarian. Mungkin karena tak kunjung berpasangan, tapi butuh sentuhan, intimasi, dan kenyamana, dia memutuskan untuk membelinya. Toh, tak ada yang tak bisa dibeli dengan uang, kan? Atau, setidaknya dikompensasi dengan sejumlah nilai tukar.
    Bagaimana cara menyelamatkan diri dari jerat candu itu? Mudahnya, jujurlah. Setidaknya paad diri sendiri, selanjutnya pada lingkungan terdekat. Apalagi jika bentuk kecanduan itu mulai berpengaruh ke interaksi sosial Anda. Selanjutnya carilah pertolongan. Anda bisa memanfaatkan lingkungan terdekat sebagai sipir, ciptakan "penjara mental". Para sipir akan memainkan peran sebagai pengawas. Kalau masih tak mujarab, temui psikolog. Terakhir, gantilah kolam Anda. Artinya, berhenti berenang di kolam yang berbahaya untuk kecanduan Anda. Kalau sudah tahu kolamnya berbuaya, apa Anda masih mau berlama-lama berenang didalamnya?
    jadi,apa candumu? (*) 

SETAN KREDIT

SAUDARI yang budiman, apakah Anda termasuk konsumen yang mengimani premis tersebut? Membeli hal-hal yang sebenarnya tidak Anda butuhkan dengan berutang untuk menciptakan ilusi dan cerita diri? Kalau jawaban Anda "Ya!", selamat datang di Kelompok Risiko Tinggi Terjerat Setan Kredit (KRT2SK). Saya salah seorang angggota senior yang sama kerasnya berjuang untuk keluar dari keanggotaan.
  Memang betul sih lebih aman untuk membeli sesuatu dengan uang tunai. Tapi, hasrat belanja permisif punya bisikan di kepala yang konsisten, "Kalau bisa kredit, kenapa mesti tunai?" Setelah bertahun-tahun membayar bunga tanpa mengurangi pokok utang, akhirnya saya sepenuhnya menyadari bahwa lebih bijak membeli barang sesuai dengan batas kesanggupan kita. Ditambah lagi, hati nggak harus digadaikan ke rasa deg-degan karena memakai barang yang belum lunas. Gimana ceritanya tuh kalau cicilan belum selesai, eh barangnya sudah di almarhum. Nyesek!
  Bank juga makin hari makin menjanjikan gula-gula kenikmatan. Ingat kan gimana susah dan ribetnya kalo kita ingin mentransfer uang? Harus ke bank, antri di loket, dan mengisi secarik kertas yang bernama slip transfer? Tinggal utak-atik HP atau keyboard laptop, kita bisa langsung melakukan transaksi perbankan tanpa harus mengangkat pantat dari kursi kerja.
  Termasuk, urusan kartu kredit yang janjinya memudahkan banci belanja kita. Kenyataanya, hal itu memudahkan banci belanja merogoh kantong lebih dalam. Semuanya di kemas dengan paket menarik, mulai promo cicilan 0% hingga promo cash back ynag menjadikan kita susah untuk tidak konsumtif.
  Tapi, rasanya masyarakat Indonesia nggak berkeberatan dengan godaan belanja kompulsif dan konsumtif itu. Nyatanya, menurut survei Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, hingga Januari 2013 ada 14,7 juta pengguna. Jumlah tersebut naik hampir 50 persen jika di bandingkan dengan 2007. Hal itu kemudian berbanding lurus dengan jumlah transaksi yang terjadi pada 2012 dan 2013 yang ternyata mencapai Rp 182,6 triliun. Data yang sangat spektakuler tersebut bisa jadi bukti nyata kenaikan status dan jumlah belanja yang terjadi di Indonesia.
 Ini nih jerat nista kartu kredit yang sering menjerumuskan para newbie alias pengguna kartu amatir.

"Bayar Minuman Aja Dulu!"
   Bayar minuman dan bunga pinjam saja, makin lama pkok pinjaman juga yang berbunga dan makan besar.

"Nggak ada duit Nih, Tapi kan masih ada kartu kredit"
  Kartu kredit bukan dana cadangan, kecuali sangat kepepet. Tapi, ingat kartu kredit memperbesar potensi penambahan utang yang berbunga dan bisa menyulitkan kita di kemudian hari.

"Ah, iuran tahunan kan bayarnya belakangan"
  Kartu kredit dipakai nggak dipakai akan kena iuran tahunan. Jangan sampai sok santai karena nggak merasa pernah pakai kartu, eh ujung-ujungnya punya tunggakan iuran tahunan yang berbunga-bunga.

"Bunganya kecil kok, kan cuma 2,5 persen."
  Bunga maksimum dar sebuah kartu kredit adalah 2,5 persen per bulan. Kecil sih kalau dilihat sekilas, tapi kalau bunga-berbunga? Ya sama aja!
  Untuk segera lulus dari KRTJSK, saya memutuskan belajar dari Ligwina Hananto, financial planner dari QM Financial. Ini cara pintar dan benar pakai kartu kredit.

Waspada Limit
  Perhatikan limit kartu yang dimiliki. Ada potensi nama baik sebagai sosialita runtuh dimeja kasir.

Pakai berapa, bayar berapa?
  Pakai kartu kredit dengan bijak, nggak lebih dari 20 persen total gaji.

Jangan utang!
  Bayar seluruh tagihan Anda tiap bulan, setidaknya sebagian besarnya. Bayar minuman sama dengan jadi sukarelawan terlihat utang dengan bunga tinggi. Kendalikan diri, stop pakai kartu kredit sampai seluruh tagihan Anda lunas.

Dua kartu cukup
   Seperti KB, dua saja cukup. Dua adalah batas maksimal nggak pusing putar otak membayar tagihan.
Sayangi dan selamatkan diri selagi bisa dari teror telepon, bahkan debt collector yang suka pamer kekuatan untuk menagih utang. Bijak belanja sesuai dengan kebutuhan dsn kemampuan, toh malaikat cuma menghitung pahala Anda, bukan berapa pasang Manolo Blahnik yang Anda punya. (*) 

SURAT TERBUKA DARI PERAWAN TUA

    SAYA pernah punya cita-cita menikah muda, muda sekali, umur 21 tahun. Saat kecantikan dan kesegaran sedang mekar-mekarnya. Saat cinta sedang buta-butanya. Tapi tak lama, logika mengambil duduk di kursi kemudi.
    Lalu tiba-tiba dalam hitungan hari, saya akan menimang umur baru, 35 tahun, dan masih melajang. Tapi, tahun ini mungkin kegelisahan umur baru tidak telalu menyiksa karena saya punya pasangan baru (ya Saudari, ini bentuk pamer terselubung). Rasanya, setelah lewat 30 tahun, kegelisahan menambah satu angka di deret umur kita tidak lagi begitu menyiksa. Lebih terasa wajar dan hampir tanpa drama yang berarti.
    Kulit mungkin mulai mengendur, garis senyum makin dalam, selulit makin susah dihapus, dan perut makin mustahil diratakan. Tapi, secara pasti dan meyakinkan ada satu hal yang lebih susah dihapus, sigma masyarakat: perawan tua. Well, perawan mungkin tuduhan serius untuk banyak perempuan di umur selanjut saya. Mungkin banyak juga yang sudah melepas keperawananya jauh-jauh hari, tapi anggaplah itu sangkaan baik dari masyarakat pada golongan eksklusif ini. Saya bilang eksklusif karena makin hari jumlahnya makin besar, makin hari umur anggotanya makin senior, yang senior biasanya malah jadi anggota abadi.
    Saya sebagai anggota kelas menengah, belum terlalu senior, tapi tentunya tak lagi junior, punya misi memperbaiki pandangan masyarakat atas ikatan senasib sepenanggungan ini. Bahwa kami para anggota ikatan ini tidaklah semendeita itu. Memang ada masanya hati menjerit iri melihat gadis-gadis yang jauh lebih hijau sudah lebih sibuk dengan belita-belita lucu dan pilah-pilih dekor rumah baru di Ace Hardware. Tapi, kami pun sepenuhnya menyadari bahwa bangun siang saat Minggu luar biasa nikmat, menghabiskan seharian pijat-lulur-manikur-pedikur-belanja adalah surga dunia yang bisa dibeli manusia.
    Banyak tuduhan bahwa kami tukang pilih, bsnysk mau, kurang bersyukur, dan nggak mau berdama dengan keyataan. Itu sebenarnya wajar. Anggota ikatan kami biasanya memang perempuan-perempuan yang lebih punya banyak pilihan. Karena terbiasa berdiri di kaki sendiri, biasanya kami lebih mandiri, baik secara ekonomi maupun sosial. Bukan nggak mau tau kurang brsyukur kalau kami mencoret para lelaki dari jadwal calon bapak aanak-anak karena kami percaya bahwa sejatinya pasangan bukan pelengkap, tapi bonus. Hidup kami sudah bahagia atau kami usahakan sebisanya bahagia.
    Menegenai banyak mau, kami telah begitu lama sendiri. Kami sungguh tahu apa yang kami mau. Sebagai pribadi, kami telah bekembang sempurna. Kami bukan lagi gadis lugu awal 20-an, yang hidup masih dengan pensil 12 warna, rasa arum manis. Buat kami, hidup lebih kaya, pensil 36 warna, rasa asam-manis-asin-pahit-sepat. Tidak mudah mencari pandanan wadah untuk batu es yang sudah jadi. Tentu kami bisa mencair sedikit demi sedikit, tapi butuh waktu dan pengorbanan. Kami juga pandai berhitung untung-rugi, kalkulatif.
    Yang kami cari, teman seperjalanan yang sama mandiri, yang sama tahan bantingnya. Hidup tak mudah dan tak murah, maka setidaknya butuh surviving skill yang mumpuni. Maka, lelaki-lelaki manja, tolong hargai waktu kami. Izinkan kami mencari yang kami mau dan butuh.
Pada saatnya kami menemukan orang yang kami pandang tepat. Kami pun tak akan bertindak "nganeh-nganehi" bin muskil. Menyadari bahwa kami yang tak sempurna, juga tak akan bersanding dengan yang sempurna lahir-batin.
    Tenang, kami adalah mahkluk yang cukup realistis dan pandai bersyukur. Tapi, dalam penantian yang panjang, kami juga punya cukup waktu untuk menanyakan kepada hati kecil apa sebenarnya yang kami cari pasangan. Yang kami sunggu cari, bukan serangkaian kepantasan dan kebanggan yang diharapkan dari lingkungan sosial.
    Mohon doa tulus dari para pembaca sehingga sebagaian besar diantara kami kami cukup tangguh dalam menghadapi peer pressure, tidak terdesak keadaan, dan menyerah kalah. Semoga kami semua diberkahi kesempatan memilih pria yang benar. Atau, tetap menjadi anggota ikatan perempuan perawan tua dnegan bangga dan bermartabat. (*)

BALADA JUAL DERITA

        "HIDUP CUMA SEKALI, BAHAGIAIN AJA.
        HIDUP CUMA SEKALI, NGGAK PERLU DI-DRAMA-IN."

    Sayangnya, dikehidupan yang cuma sekali ini, nggak banyak orang setuju sama premis yang saya tawarkan. Lebih banyak yang memilih menjadi dramatis,malah memilih jadi tragis. Ya, pilihan-pilihan ada di tangan manusia, sang pelaku.
    Kalau Anda bukan Teguh Karya, Arifin C. Noer, atau N. Riantiarno, kenapa sih hobi berat bikin hidup jadi drama? Bikin yang mestinya bisa dihadapi dengan normal jadi nyata? Hobi benar ngasih tambahan MSG ke kehidupan nyata? Apa mungkin Anda bercita-cita main sinetron stripping, tapi gagal tercapai?
   
Merasa bukan bagian dari yang mendramatisasi hidup? Coba cek lagi dengan parameter ini.

  1. Melebih-lebihkan. Rasanya nggak ada tuh takaran atau dosis cukup. Sedang. Adanya cuma maksimal. Pol. Notok. Mentok. Saat bereaksi terhadap sesuatu, Anda selalu beberapa level lebih dari manusia normal.
  2. Sensitif. Urat emosi Anda setipis rambut dibelah tujuh. Disenggol dikit putus. Kurang-kurangin lah sensitifnya. Cuma alat cek hamil yang boleh sensitif.
  3. Egosentris. Merasa dunia ini berputar pada Anda sendiri. Semua komentar orang, perlakukan orang, ditunjukan dan berimplikasi pada diri Anda. Nggak peduli deh dengan keadaan orang lain. Pokoknya Anda, Anda, Anda melulu.
  4. Selalu merasa jadi korban. Ini berkaitan sama poin egosentris di atas. Karena merasa sebagai sasaran utama suatu tindakan atau keadaan, timbul upaya mengasihani diri sendiri. Juga menyalahkan keadaan, nasib, dan menempatkan diri jadi korban, orang terapes didunia.
Mengambil posisi sebagai korban untuk menyelamatkan muka dan membela diri. Korban atau pelaku sebenarnya punya batas jelas. Sebaliknya, Anda juga punya hak untuk memilih jadi korban atau jadi pemenang.

Mereka yang memilih jadi korban ini kemudian mengasah kemampuan utuk mengemas derita mengasah kemampuan untuk mengemas derita jadi cerita. Menjual derita. Kenapa?

  1. Haus perhatian. Cara termudah untuk mengunggah emosi dan menimbulkan simpati, yang berujung pada eskalasi perhatian, adalah menempatkan diri jadi korban. Menjadi yang paling menderita dari suatu keadaan.
  2. Manipulasi perasaan. Iba adalah senjata mematikan, pintu masuk untuk para "korban" dapat perhatian dari lingkungan sosialnya. Memilih topeng paling sedih dan menceritakan kembali keadaan yang dialami dipangkat 10.
  3. Ingin dipentingkan. Anda yang menempatkan diri sebagai korban menyadari kalau lemah, tapi sebaliknya percaya betul kelemahan adalah kekuatan. Ada tindakan sadar untuk mengebiri potensi dan menjadi lemah. Tapi, dengan menjadi lemah, Anda punya kekuatan kasat mata untuk dipentingkan atas nama kasihan.
  4. Modus berulang. Pada giliranya para "korban" ini secara sukarela selalu jadi "korban". Rela jadi orang termalang didunia. Sebab, ini cara mudah untuk diam-diam jadi pemenang. Pemenang simpati orang dan mereka diselamatkan dari "kejamnya" dunia.

    Bagaimana cara menylamatkan diri Anda? Oh, mungkin Anda keberatan karena merasa tidak melakukan. Tapi percaya deh, denial adalah verifikasi awal. Oke, bagaimana cara menyelamatkan teman Anda yang "penjual derita" akut ini?
  Pertama, jadilah "kebal" hati. Senantiasa menempatkan diri jadi korban adalah bentuk sakit mental tingkat rendah. Jatuh simpati maupun memberi perhatian ibarat menuang bensin ke api. Jadi, berhenti lakukan itu. Cuek dan kebal hati saja. Mana tahu setelah tak mendapat apa yang dia cari, si pelaku akan insaf.
  Kedua, lakukan intervensi. Kumpulkan fakta dan paparkan di depan pelaku. Bahwa kita peduli, ingin dia "sembuh". Ini adalah bentuk "tamparan sayang" untuk menyelamatkan teman.
  Jadi, berhenti di dini jadi penjual derita, kecuali Anda berniat untuk jadi presiden di negeri ini. (*) 

PETRUK DADI RATU

Dalam dua pekan ini, bisa dipastikan seluruh indra Anda dikepung gelombang Vicky-isasi. infotaniment, yang secara judul seharusnya menghibur, seperti panen bahan berita. Menyenangkan diawal, guilty pleasure, tetapi memuakkan saat overdosis.

DIKIRANYA penonton TV di rumah sungguh ingin tahu cerita ibu dan adik-adik Vicky, teman-teman SMA-nya, bahkan lurah desanya. Lagi-lagi, simbol " ndesit" yang dirayakan berlebihan. Popularitas instan yang lagi-lagi salah jalur.
  Dilihat dari sisi berbeda, mungkin ini pengalihan isu. Rakyat kita jadi lupa absenya tempe-tahu di meja makan.
Menertawakan derita orang lain, kebodohanya, dan juga kemalanganya. Ternyata, menghibur.
  Tapi, saya tak hendak bicara tentang bahasa Vicky yang serba inggil dan canggih itu. Saya cuma ingin menganalisis kenapa Vicky yang Don Juan kelas kambing ini bisa begitu mulus menipu gadis-gadis penyanyi dangdut yang tak kalah mulus.
  Kalau diperhatikan baik-baik, sebenarnya Vicky ini penhjahat kelamin berkelas standar dalam modus, terlebih wajah.
  Coba kita analisis apa sih senjata utama Vicky memperdayai para biduan itu? Pertama, jurus status sebagai pengusaha sukses di bidang-bidang seksi, batu bara dan minyak. Status ini kadang berganti judul. Ditambah jurus ketiga, casciscus bahasa asing yang terdengar canggih. Walau kalau diperhatikan, sama sekali nggak ada canggih-canggihnya.
  Nah, kenapa jurus diwajah standar ini berhasil memperdaya? Tentu tak lepas dari cermatnya Vicky memilih korban. Dia sadar jurus dan modus itu hanya behasil dengan syarat dan ketentuan tertentu.
  Sadar tak mampu memperdayai gadis-gadis urban macam Raisa, dia secara cermat memilih biduan dang-dut sebagai sasaran utama.
Maka, kita wajib mengganti jajaran korbannya, Zazkia Gotik, Deasy Kitaro, Ade Nurul, Camel Petir, dan kawan-kawan adalah para "pejuang kelas sosial dan ekonomi". Berlaku seperti hukum supply and demand: Pria (mengaku) mapan dan perempuan pencari kemapanan.
  Jika Amerika punya American Dream yang memastikan semua orang punya kesempatan melompati kelas sosial dan ekonomi tanpa melihat latar belakangnya, di Indonesia mimpi ini mengalami pendangkalan. Bahwa mimpi punya mobil mewah dan dua pintu, rumah mewah bertingkat, tas Hermes asli kulit mulus, wajah cantik, badan singset, dan sikap manis manja sebagai mata uang pengganti.
  Ada pendangkalan dan pengesampingan kerja keras. Tanpa mengecilkan perjuangan mereka untuk memaksimalkan penampilan, tak bisa dimungkiri, pria mapan berpendidikan luar negeri tentu bonus manis sekaligus eskalator ekspres dalam perjalanan mewujudkan mimpi.
  Kemapanan instan tentunya godaan yang sudah ditolak, bukan? Pendidikan minim ditambah intimidasi kelas sosial dan kemapanan sering memendekkan pikir. Tak heran, digombali sedikit dengan bumbu bahasa anggih, mereka sukarela klepek-klepek. Tanpa sadar, ambisi berpadu keluguan adalah menciptakan jebakan maut untuk diri sendiri.
  Materialisme membutakan dan pada banyak hal melonggarkan nilai-nilai. Para perempuan ini lupa bahwa semua hasil butuh usaha.
  Saya ingat satu cerita wayang dari buku Yang Kung saya , Petruk yang punakawan eh tiba-tiba jadi ratu. Tapi, semua yang instan pasti sementara. Semua rezeki dan kemapanan, sialnya, sudah dijatah nasib. Dan, Tuhan tidak besama mereka yang menggampangkan hal-hal, menghalalkan yang tak halal. (*)