Senin, 17 Februari 2014

BALADA JUAL DERITA

        "HIDUP CUMA SEKALI, BAHAGIAIN AJA.
        HIDUP CUMA SEKALI, NGGAK PERLU DI-DRAMA-IN."

    Sayangnya, dikehidupan yang cuma sekali ini, nggak banyak orang setuju sama premis yang saya tawarkan. Lebih banyak yang memilih menjadi dramatis,malah memilih jadi tragis. Ya, pilihan-pilihan ada di tangan manusia, sang pelaku.
    Kalau Anda bukan Teguh Karya, Arifin C. Noer, atau N. Riantiarno, kenapa sih hobi berat bikin hidup jadi drama? Bikin yang mestinya bisa dihadapi dengan normal jadi nyata? Hobi benar ngasih tambahan MSG ke kehidupan nyata? Apa mungkin Anda bercita-cita main sinetron stripping, tapi gagal tercapai?
   
Merasa bukan bagian dari yang mendramatisasi hidup? Coba cek lagi dengan parameter ini.

  1. Melebih-lebihkan. Rasanya nggak ada tuh takaran atau dosis cukup. Sedang. Adanya cuma maksimal. Pol. Notok. Mentok. Saat bereaksi terhadap sesuatu, Anda selalu beberapa level lebih dari manusia normal.
  2. Sensitif. Urat emosi Anda setipis rambut dibelah tujuh. Disenggol dikit putus. Kurang-kurangin lah sensitifnya. Cuma alat cek hamil yang boleh sensitif.
  3. Egosentris. Merasa dunia ini berputar pada Anda sendiri. Semua komentar orang, perlakukan orang, ditunjukan dan berimplikasi pada diri Anda. Nggak peduli deh dengan keadaan orang lain. Pokoknya Anda, Anda, Anda melulu.
  4. Selalu merasa jadi korban. Ini berkaitan sama poin egosentris di atas. Karena merasa sebagai sasaran utama suatu tindakan atau keadaan, timbul upaya mengasihani diri sendiri. Juga menyalahkan keadaan, nasib, dan menempatkan diri jadi korban, orang terapes didunia.
Mengambil posisi sebagai korban untuk menyelamatkan muka dan membela diri. Korban atau pelaku sebenarnya punya batas jelas. Sebaliknya, Anda juga punya hak untuk memilih jadi korban atau jadi pemenang.

Mereka yang memilih jadi korban ini kemudian mengasah kemampuan utuk mengemas derita mengasah kemampuan untuk mengemas derita jadi cerita. Menjual derita. Kenapa?

  1. Haus perhatian. Cara termudah untuk mengunggah emosi dan menimbulkan simpati, yang berujung pada eskalasi perhatian, adalah menempatkan diri jadi korban. Menjadi yang paling menderita dari suatu keadaan.
  2. Manipulasi perasaan. Iba adalah senjata mematikan, pintu masuk untuk para "korban" dapat perhatian dari lingkungan sosialnya. Memilih topeng paling sedih dan menceritakan kembali keadaan yang dialami dipangkat 10.
  3. Ingin dipentingkan. Anda yang menempatkan diri sebagai korban menyadari kalau lemah, tapi sebaliknya percaya betul kelemahan adalah kekuatan. Ada tindakan sadar untuk mengebiri potensi dan menjadi lemah. Tapi, dengan menjadi lemah, Anda punya kekuatan kasat mata untuk dipentingkan atas nama kasihan.
  4. Modus berulang. Pada giliranya para "korban" ini secara sukarela selalu jadi "korban". Rela jadi orang termalang didunia. Sebab, ini cara mudah untuk diam-diam jadi pemenang. Pemenang simpati orang dan mereka diselamatkan dari "kejamnya" dunia.

    Bagaimana cara menylamatkan diri Anda? Oh, mungkin Anda keberatan karena merasa tidak melakukan. Tapi percaya deh, denial adalah verifikasi awal. Oke, bagaimana cara menyelamatkan teman Anda yang "penjual derita" akut ini?
  Pertama, jadilah "kebal" hati. Senantiasa menempatkan diri jadi korban adalah bentuk sakit mental tingkat rendah. Jatuh simpati maupun memberi perhatian ibarat menuang bensin ke api. Jadi, berhenti lakukan itu. Cuek dan kebal hati saja. Mana tahu setelah tak mendapat apa yang dia cari, si pelaku akan insaf.
  Kedua, lakukan intervensi. Kumpulkan fakta dan paparkan di depan pelaku. Bahwa kita peduli, ingin dia "sembuh". Ini adalah bentuk "tamparan sayang" untuk menyelamatkan teman.
  Jadi, berhenti di dini jadi penjual derita, kecuali Anda berniat untuk jadi presiden di negeri ini. (*) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar