Senin, 17 Februari 2014

KECANDUAN

  Apa candumu? Jangan jawab asmara, apalagi kalau Anda sama sekali bukan Cici Paramida. Kalau Anda menjawab, tak ada, mungkin wajib waspada kualifikasi tahap pertama: penyangkalan.
   
    Sesungguhnya semua adiksi, kecanduan, di ciptakan acara sukarela. Ibarat tamu, dia diundang masuk rumah dengan tangan terbuka. Sayangnya, kecanduan suka betah dan merasa dirumah sendiri, bertindak sesuka hati. Bahkan, si tuan rumah harus ikut kata si tamu. Anda tertawan, tak bisa melawan.
    Kecanduan seperti lagu, "mulanya biasa saja." Itu analisis sok tahu saya tentang kecanduan. Kecanduan biasanya timbul karena ada kemampetan. Kecanduan bisa jadi jalan kelua atau upaya pengalihan dari isu utama.
    Kedua, inti kecanduan adalah gagal kontrol. Sebab, bentuk kecanduan bisa bermacam-macam dan pada awalnya tak berbahaya, sampai disatu titik ia menguasai kehidupan seseorang.
    Ketiga, karena awalnya biasa saja, kecanduan cenderung dianggap remeh, dispelekan. Karena bukan hal yang bahaya, dilakukakn repetitif, ditingkatkan dosisnya terus menerus, hingga sampai ketempat yang paling ekstrem.
    Keempat, pada saatnya, ketika Anda hilang kendali, ada kecenderungan untuk menyembunyikanya. Mencoba aneka cara jadi tabib, mengobati diri sendiri, karena merasa malu untuk mencari pertolongan dari pihak yang bisa dipertanggung jawabkan. Tapi seringnya, semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur.
    M, 34, seorang wota sejati. Wota adalah sebutan untuk fans berat sebuah idol grup yang tediri atas gadis-gadis muda baru lulus pubertas. Saking ngefans-nya, dia berduyun-duyun bersama para wota lain rela memadati teater demi melihat langsung grup idola atau sekedar berjabat tangan beroleh stiker lucu.
    Bahkan, kompsisi tweet harianya 75 persen berisi mention anggota grup (yang tak pernah dibatas), membahas betapa lucunya si ini dan si itu, dan ujaran-ujaran khas pemuja. Saya tanya, "Istrimu nggak papa?" "Gak papa, dia aku ajak juga lihat teater".
    P,34, punya kecanduan pijat. Dia bisa pijat setiap hari. Mungkin itu pelarian. Mungkin karena tak kunjung berpasangan, tapi butuh sentuhan, intimasi, dan kenyamana, dia memutuskan untuk membelinya. Toh, tak ada yang tak bisa dibeli dengan uang, kan? Atau, setidaknya dikompensasi dengan sejumlah nilai tukar.
    Bagaimana cara menyelamatkan diri dari jerat candu itu? Mudahnya, jujurlah. Setidaknya paad diri sendiri, selanjutnya pada lingkungan terdekat. Apalagi jika bentuk kecanduan itu mulai berpengaruh ke interaksi sosial Anda. Selanjutnya carilah pertolongan. Anda bisa memanfaatkan lingkungan terdekat sebagai sipir, ciptakan "penjara mental". Para sipir akan memainkan peran sebagai pengawas. Kalau masih tak mujarab, temui psikolog. Terakhir, gantilah kolam Anda. Artinya, berhenti berenang di kolam yang berbahaya untuk kecanduan Anda. Kalau sudah tahu kolamnya berbuaya, apa Anda masih mau berlama-lama berenang didalamnya?
    jadi,apa candumu? (*) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar