Minggu, 26 Januari 2014

ANTARA PEREMPUAN, IBU, CABAI DAN TERONG

Selamat hari perempuan, 22 Desember kemarin! 
Ya, bukan Hari Ibu, jadi semua perempuan 
berhak diselamati. Untuk yang sudah atau yang akan, 
juga untuk yang memilih tidak, karena keadaan,
kesehatan, atau pilihan sadar lain.


TERNYATA 22 Desemmber menandai kongres perempuan pertama di Jogja. Saat itu para perempuan Indonesia membicarakan hal-hal penting seputar keperempuanannya. Hak untuk terlibat dilebih banyak bidang, hak atas kesehatan, hak untuk selamat dari perkawinan dini, juga hak anak-anak dan perempuan untuk diselamatkan dari perdagangan. 
  Bahwa yang perlu dirayakan sejatinya adalah keperempuanannya, kesadarannya untuk melintas batas yang diciptakan budaya, juga kontribusi perempuan terhadap bangsa ini. Itu mestinya lebih dari sekedar perayaan dan puja-puji untuk keibuanya.
  Konon, itu usaha sebuah rezim untuk menumpulkan perempuan, menempatkanya sebagai hanya kanca winngking, semata menjalankan fungsi domestik. Walaupun sungguh tak ada yang salah dengan selebrasi terhadap ibu dan keibuanya. Tapi, perempuan sejatinya lebih dari sekedar itu. 
  Tentang perempuan dan ibu, merekalah yang selalu didakwa sebagai pilar keluarga. Kenapa didakwa? Sebab, merekalah yang paling dipersalahkan untuk kegagalan sebuah keluarga. 
  Untuk anak-anak yang gagal menjadi baik menurut standar kelaziman, untuk anak-anak yang dianggap gagal oleh lingkungan, semua berada dipunggung ibu-ibu. Bahkan, bapak-bapak pun merasa berhak untuk mendakwa, seolah sepenuhnya tanggung jawab ibu, bahwa uang-uang yang mereka bawa pulang sudah cukup sebagai urun tanggung jawab untuk keluarga. 
  Bicara tentang ibu, susah jadi ibu zaman sekarang, di zaman buah-buahan dan sayur-sayuran tak semata merujuk pada makna aslinya. Di saat dunia, setidaknya di Indonesia, apel, BlackBerry, Cabai, dan terong telah bermakna ganda. 
  Dua yang pertama tentunya menurut pada perkembangan teknologi, alat komunikasi yang menyesaki saku-saku ABG masa kini. Tempat hidup mereka berjejak dan mata mereka tak pernah lepas dari layarnya. Dua yang terakhir adalah istilah yag sedang heboh dibicarakan di Twitter dan media digital, cabai-cabaian dan terong-terongan. 
  Cabai-cabaian mengarah pada pengertian gadis-gadis muda yang memilih untuk melonggarkan susilanya atas nama pergaulan. Konon, jenisnya di bedakan menurut kelas sosial, mulai ramai di amati di Jakarta. Tapi, apapun namanya, saya rasa cukup relavan dikota-kota lain, besar dan kecil. Kalau Anda paham istilah jablay atau alay, ini adalah versi 2.0-nya. 
  Kategorinya, menurut seorang selebtwit , Gofar, di pecah tiga. Hijau adalah anak SMA-SMP dari sekolah gaul yang hobinya dandan, berhak tinggi, dan berbaju seksi diluar umurnya, juga cari umur untuk clubbing dan pulang pagi. 
  Untuk merah, nongkrong-nya masih diswalayan bertempat duduk, biasanya juga hobi ke kelab, tapi masih bergantung pada invitation geratisan dan guest list. Biasanya ramai di university night di kelab-kelab. Nah, mereka getol mengencani DJ atau bisa diajak pulang anak yang kelihatan gaul demi akses mudah ke kelab. 
  Cabai oranye adalah gadis-gadis SMA-SMP pinggiran yang bergaul lebih ke kafe kaki lima dan hobi nongkrongin para pembalap liar. Untuk mengeksiskan diri, mereka rela jadi hadiah tambahan bagi pembalap liar yang juara malam itu . 
  Sekarang cerita tentang fenomena terong-terongan. Para pelakunya adalah ABG pria yang krisis identitas seksual. Bentuknya sih lelaki, tapi hobinya pakai foundation, kosmetik tipis-tipis, celana legging aneka warna, juga T-shirt V neck seperdalam, plus tentunya laku kemayu. 
Mereka banyak dijumpai di jajaran penonton acara musik di TV, yang heboh jadi  bulanan-bulanan MC yang tak kalah kemayu dengan joget ucek-jemur. Juga bertaburan di laman-laman Facebook dengan foto selfie aneka gaya. Itu tak lepas dari figur idola mereka yang kemayu dan kenes walau lelaki. 
  Seperti ada syarat tidak tertulis kalau nggak kemayu, jangan harap jadi bintang layar kaca, jadi MC acara live lima kali sehari, beli mobil, liburan, masuk infotainment. Nah, jenis terong-terongan ini adalah golongan gay-hibrida. Pria-pria muda yang memilih menjadi gay semata karena tren. 
  Nah, benar kan? (Makin) Susah jadi ibu? zaman sekarang? Jadi, semoga hari perempuan atau Hari Ibu atau hari pun apa namanya menguatkan hati-hati perempuan untuk menjadi ibu-ibu yang lebih baik, lebih bijak, lebih luas dan sabar hatinya. (*) 

GEGAR STATUS

  SEORANG om 40-an akhir, berambut klimis agak jarang, berbaju safari, dengan kumis tipis beriring diatas bibir sedang berbicara dengan gadis berambut belah tengah, "Jangan panggil bapak dong, panggil mas aja." Adegan yang lazim saya tonton dalam film-film pada 80-an. Biasanya ucapan sejenis diungkapkan om-om genit yang sedang puber kedua. Krisis identitas.
  Sekitar 20 tahun kemudian, ternyata saya menjelma om-om dalam kemasan yang sedikit berbeda. Saya baru tahu rasanya.
Sedikit paham krisisnya, walau tetap nggak paham dengan gaya salamannya. Saat lebih sering disapa "ibu" daripada "mbak". Gegar identitas, status sekaligus.
  Muailah saya menyusun daftar kemungkinan asal muasal panggilan ini. Apakah karena tampang matang pohon? Apakah kerut-merut halus di sekitar mata dan bibir saya sebegitu terlihat dari balik meja kasir? Apakah baju saya yang serius? Apakah make-up saya yang terlalu paripurna?
  Perempuan-perempuan dengan paket pertumbuhan normal biasanya mulai mengalami pergeseran  panggilan begitu mereka menyentuh 27-an.
Beberapa yang tidak cukup beruntung karena wajah dan lingkar badanya bertambah menurut deret ukur malah bisa-bisa mengalami pada usia  yang jauh lebih dini, awal 20-an. Tentu ini lebih perih, saya kirim simpati dan peluk agar ikhlas menjalani cobaan.
  Untuk melegakan hati dari keresahan gegar identitas itu, saya mengadakan percobaan kecil. Bepergian dengan gaya trendi kekinian mulai ujung kaki ke kepala. Mencoba berinteraksi di beberapa tempat. Mulai tempat normal semacam toko serba ada dan minimarket sampai tempat pergaulan anak muda seperti kafe dan distro.
  Dari 100 kali panggilan, mungkin hanya 19 persen yang membahagiakan hati dengan panggilan mbak, 1 persen dengan status ambigu dengan panggilan tante mungkin punya niat baik ingin membahagiakan hati, tapi tak cukup yakin dengan bungkus muda artifisial ini.
Sisanya tetap: memilih panggilan ibu.  Ternyata, rindu tinggal rindu. Ternyata, status panggilan saya sudah secara sah dan meyakinkan bergeser. Keluh.
  Apa salahnya sih dengan panggilan ibu? Nggak ada yang salah sih, kecuali semacam saya. Panggilan ibu mungkin adalah format hormat, sekaligus formal dan aman. Sebab, ternyata di bank dan hotel, ada peraturan tertulis bahwa konsumen perempuan cukup umur harus di panggil ibu. Fakta yang sedikit melegakan.
  Lalu saya menelisik lebih dalam, apakah gamang bin insecure ini juga dibawa status yang kebetulan masih lajang? Sebab, seyogianya panggilan ibu pasti akan lebih ikhlas diterima mereka yang memang sudah secara biologis menjadi ibu. Apakah ini sebuah mekanisme difensif untuk menolak ketuaan yang merambat diam-diam? Mungkin. Ada sebersit ketidakrelaan untuk di-fait a compli sebagai ibu-ibu.Gegar mungkin kata yang tepat. Sebab, ada ketidaksiapan untuk menghadapi kondisi dan kenyataan hidup.
  Semoga saya dijauhkan dari godaan untuk menyembuhkan gegar status ini dengan cara-carra yang kurang mulia.
Misalnya, nekat dengan merendeng berondong ke sana-kemari. Juga, tidak nekat jadi korban mode. Khilaf memilih celana gemes atau baju kelihatan pusar tanpa menimbang kodisi selulit.
Semoga saya berhasil menerima kegegaran ini dengan bijaksana, tanpa botox. Amin. (*) 

Kamis, 23 Januari 2014

PEREMPUAN MISKIN DILARANG MATRE

  SAYA men-tweet dua kalimat itu beberapa hari lalu dan pesan ini  bergulir cepat, saya panen re-tweet hari itu. misteri besar banjir tweet hari itu, entah karena kebetulan di re-tweet oleh traveler dan penulis chicklit ternama, entah karena sepakat dengan isi tweet, entah karena tertohok bin tersindir. Sebenarnya, inoi bukan ajakan perang terbuka untuk para perempuan matre diluar sana, ini cuma pernyataan sikap.
  Perempuan matre, itu lagu lama. Fenomena usang. Lelaki matre pun tak kalah banyak, baik yang terang-terangan maupun yang sembunyi dibalik selimut. Tapi sekali lagi, perempuan di untungkan (atau malah di rugikan) dengan penghakiman kultural "surga nunut, neraka katut". Kalau pasangannya hidup enak, wajar kiranya untuk ikut mencicipi hidup enak bergelimang senang. sebaliknya pun begitu. Tapi, tentunya yang matre murni percaya premis tambahan, "Ada uang abang disayang, tak ada uang abang dibuang".
  Tapi, saya tak punya penghakiman atas matre dan ke-matre-an. Menurut saya, matre itu sah dan wajar asal jujur dan bertanggung jawab. Wajarnya jual beli-atau hukum supply-demand, perempuan matre tentu punya bargaining power untuk menjual cinta dan pesona guna mendapat kegemilangan hidup. Fenomena perempuan matre tentu hidup dan lestari karena jumlah lelaki kaya raya yang sukarela (atau sok rela) di-matre-i

"Perempuan, kalau berani matre, 
harus juga berani kaya. 
Kalau masih miskin sudah matre, malu" 

juga senantiasa tersedia dipasar. 
  Tapi, hei perempuan, jangan berani matre kalau belum berani kaya. Menurut saya, kalau masih miskin, jangan berani-berani matre. Jadilah matre karena pilihan, bukan keadaan. Artinya begini, saat Anda memutiskan jadi perempuan matre, sepenuhnya pilihan sadar karena Anda merasa pantas mendapatkanya. Kekayaan itu bisa berbentuk kekayaan (uang dan  harta lainya), juga dalam bentuk kecerdasan intelektual. Miskin dan "miskin" menempatkan Anda di status hina "kere munggah bale". Lompatan sosial instan, selain dianggap miring, sering menimbulkan ke-norak-an sosial budaya. Karena itu, butuh persiapan mental dan spiritual untuk menjadi perempuan matre paripurna. 
  Sebaliknya, lelaki, kalu Anda belum kaya, jangan juga berani-berani menuduh perempuan matre kepada Anda. Butuh kapital cukup untuk mendakwa perempuan me-matre Anda. Kalau kadar kekayaan Anda masih sedang-sedang saja. Anda belum pantas di-matre-i. Jangan GR karena para perempuan matre pun punya SOP dalam membidik sasaran. Ada etika dan tahap saringan khusus. Jangan nekat kalau nggak kaya-kaya amat. Jangan berani-berani sok kuat  di-matre-i tanpa modal cukup. Jangan sok tegar kantong, Anda bukan Donald Trump, bukan juga Hugh Hefner. 
  Terakhir, sekali lagi, saya mengirim pesan untuk para perempuan yang sudah atau  berniat akan menjadi matre, pastikan Anda cukup kaya fisik maupun mental. Beranilah kaya supaya Anda pantas menjadi matre atas nama pilihan hidup dan solusi menang sama menang, untung sama untung. Jadilah barang mahal dan berharga yang harus ditebus dengan harga mahal. Kalu modal pas-pasan, jangan nekat jadi matre, malu. Menjual barang kualitas KW dengan harga barang kualitas bagus itu penipuan. Seandainya si lelaki mau, judulnya khilaf. Namanya khilaf, pasti ada sadarnya dan Anda akan didepak cepat-cepat karena ternyata harga Anda nggak cukup untuk dijual mahal. Jadilah perempuan matre yang bermartabat. Sekian dan terima kasih. (*) 

ETIK KENCAN PERTAMA

  DATANGNYA perkenalan bisa dari banyak pintu. Jadi, saya yang getol-getol snati mencari peluang jodoh ini dapat kenalan baru dari jejaringb yang seharusya prifesional, Linkedln. Sebut saja namanya Z. Secara tidak sengaja, kita bersirobok di Twitter, saling follow, dan akhirnya saling DM. Lalu begitu saja, akhirnya berlanjut ke jaringan komuniasi yang lebih personal.
  Akhirul kata, hubungan ini layu sebelum berkembang. Berangkat dari pengalamnan itu, rasanya ini pas di jadikan bahan analisis mengenai etik kencan pertama.
 
PRAKENCAN
  Lakukan fit and proper test standar: stalking. Stalkig atau prnguntitan digital ini mudah saja. Tinggal masukan namanya di situs pencari, maka akan keluar aneka info mengenai oknum yang kita cari tahu itu.
  Malah, kalau kita beruntung, misalnya si empunya cukup melek teknologi dan punya reputasi atau jenis pekerjaan yang akrab publisitas, perjalanan hidup bahkan daftar nama mantan dan perjalanan cintanya akan terpampang nyata.
  jika ternyata dia cukup asyik ditahap ini boleh kiranya Anda mengatur jadwal pertemuan. Tapi, kalau dia kurang asyik di tahap ini, nggak ada salahnya juga untuk tetap mengatur jadwal perjumpaan. Kadang beberapa orang kurang terampil dibahasa tulis dan lebih memikat dijumpa barat.
 
SAAT KENCAN

  Lokasi menentukan prestasi. Pilih tempat yag tepat. Untuk jumpa pertama, ada baiknya pilih tempat yang nyaman untuk semua. Nyaman berarti banyak. Jarak; pastikan lokasi kopi darat di tempat yang memudahkan buat kedua pihak, jagan mengajak bertemu di antah berantah, atau terlalu jauh. Netral; pastikan tempatnya tidak pretensius. Restoran, kafe, atau tempat ngopi adalah pilihan yang aman.
  Ajakan nonton di jumpa pertama juga kurang ideal karena semestinya pertemuan pertama adalah langkah kulonuwun. Waktu untuk masing-masing pihak mengecek chemistry. Ajakan jumpa pertama dirumah bisa jadi juga kurang pas karena rumah ibaratnya adalah area privat.
    Berkunjung ke rumah orang yang sma sekali belum pernah ketemu terasa janggal buat banyak orang. Ajakan ketemu dirumah, kecuali dengan alasan khususnya, misal ada pesta kecil, atau sedag sakit, bisa terbaca sangat pretensius. Seperti ada hidden agenda alias udang dibalik batu. Apalagi kalau jelas-jelas si pengundang tinggal sendiri, ini akan terbaca sebagai ajakan romansa daripada sekadar ajakn bertemu. Seperti hukum kata hati, di kasus ini hanya si pengundang dan Tuhan yang tahu.
  Don't put pressure on each other. Ciptakan posisi dan situasi nyaman untuk kedua pihak. Makanya, berhenti juga menjadi perempuan yang "terserah". Ini nyaris 2014, sudah bukan abadnya menjadi perempuan tipe "terserah". Tunjukan sikap karena "terserah" berkedudukan semisterius alien di planet lain dan pasangan kencan Anda bahwa bukan ahli ekstraterestrial. Sejauh yang saya tahu, lelaki yang paling sensitif dengan kata terserah, apalagi di titik-titik awal. Pesona anda akan gugur satu digit!
  Pakai baju yang nyaman sekaligus menonjolkan sisi terbaikmu. Maka, mudahnya cari bungkus yang jujur dan tidak menjanjikan terlalu banyak.
Stop over-promising. Be yourself.

PASCAKENCAN
  Baik-buruknya jumpa pertama ditentukan oleh tindas rasa yang di tinggalkan setelah pulang kerumah masing-masing. Tapi, menurut saya, interaksi pertama ibarat proses tawar menawar harga di lapak pasar. Jadi tidak jadi, cocok tidak cocok,   berikan akhir yang baik.
  Kalu "cocok harga", tidak ada salahnya anda mengirimkan ucapan terima kasih begitu sampai dirumah.
  Bagaimana jika Anda nggak tetarik dan pasangan kencan gagal impresif? Tetap sopan. Any of your date deserve a perfect closure. Ucapkan teima kasih dengan nada yang paling netral. Baiknya sih lewat bahasa tulis saja, singkat-padat-jelas. And life goes on. Gagal dikencan pertama buka akhir dunia. Masih banyak kumbang diluar sana. Keep looking, keep searching! Your perfect man is corner away. (*)  

BALADA JONI & SUSI

  PERNAHKAH Saudari punya teman bernama Joni?
Atau, Susi? Joni yang ditulis secara blaka sutho dengan ejaan bahasa Indonesia apa adanya. Joni jelas serapan dari Johny seperti pada Depp atau agen rahasia Inggris, Johny English. Era Joni mungkin sudah lalu . Dalam sejarah, Joni yang paling dicatat namanya hanya Joni Indo. Pria ganteng blasteran yang juga penjahat kambuhan berbahaya di era 80-an.
  Sementara itu, Susi tentunya berasal dari Susy.
Biasanya, itu panggilan sayang untuk nama Susan atau Susana.Saya pernah punya teman yang namanya Susi, yang ditulis secara rendah hati dengan cita rasa Indonesia, bukan jenis Susi yang kebarat-baratan., Susy. Seperti namanya, seingat saya, Susi ini berambut kemerahan yang tentunya alami karena zaman saya kuliah cat rambut masih barang mewah. Dan kami mahasiswa di Universitas bersahaja yang duit jajanya tak kalah bersahaja. Putih, cantik, kenes, dan sedikit kemayu. Mungkin benar, nama adalah Do'a.
  Lalu, adik laki-laki saya KKN di Lereng Gunung Bromo. Ditengah dusun berkabut, dia akrab dengan brian kecil, Cassandra, Bella, bahkan Keisha. betapa penetrasi TV mengubah budaya, setidaknya struktur nama.
  Keponakan-keponakan saya punya nama-nama yangyahud dan tidak generik. Yang satu bernama Trixiequita Kalyka Meediza (yang kurang lebih bunga mawarkecil yang membawa kebhagiaan)., satunya bernama Ritero Kicko d'Ravelo (yang berarti kesatria dengan tendangan revolusioner). Trixie di daftar absen kelas IV SD-nya punya teman sekelas dengan nama-nama generik khas generasi 2000-an. Kadang sekelas ada lebih dari satu orang Salsa, Daffa, Tasya, Kayla.
  Kalau bisa saya kategorikan, jenis nama yang sedang trendi di era ini terdiri atas nama islami yang di modernkan dalam penulisan, contoh Aisya atau Aesha (dulu Aisah atau Aisyah), Jenna atau Janna (dullu Jannah).
  Kedua, jenis nama yang diambil dari kota-kota dunia. Sepertinya sih nama ini di mulai Beckham-Victoria dengan Brooklyn. Ketiga, nama dari merek. Misal, Prada, Mercedes,  Chloe (kadang ditulis Khloe ala jajaran Saudari Kardashian), dan Armani. Keempat, nama dari bintang film, misal Ethan, Liam, Cinta, Rangga (yang dua ini tentunya dari Ada Apa Dengan Cinta?), Scarlett, dan Zoe.
  Nah, ada tren terbaru, yaitu nama asli bahasa Indonesia dan merupakan kalimat. Pasangan Anto Hoed-Melly Goeslaw termasuk yang progresif menamai anak mereka Anakku Lelaki Hoed dan Pria bernama Hoed. Ada juga yang menamai anaknya Angan Senja, Denyut.
  Saya memilih golongan terakhir dengan menyiapkan Bintang Radjah Langit dan Magenta Jejak Cakrawala untuk anak-anak saya nanti. Mohon dua nama ini jangan dikutip, sudah saya patenkan, walau dalam hati saja.
  Bagaimana kasus keberatan nama? Nama canggih nan Internasional, tetapi eh kelakuan ndesit bin ndeso? Atau nama Islami, seperti Akhsani Takwim yang kurang lebih bermakna semulia-mulianya ciptaan Tuhan, eh pacarnya gonta-ganti menurut deret ukur, bukan sekedar deret hitung.
  Menurut pendapat saya pribadi, karena nama adalah harapan orang tua kepada anak, nggak ada salahnya memberikan harapan maksimal. Tapi, tentu namanya juga berharap, cobalah senantiasa proposional. Jangan sampai harapan tinggal harapan. Namai anak anda dengan sak madya.
 Saat memberi nama, seharusnya orang tua berwawasan futuristis. Artinya, perlu memperkirakan nama itu nggak ketinggalan zaman. Bayangkan anak-anak anda akan berkiprah di 20 tahun dari sekarang. Nama seyogianya punya efek dramatis agar mudah diingat, tapi juga membumi.
  Dalam menamai, bertenggang rasalah kepada anak Anda yang akan mengemban nama itu seumur hidupnya. Jangan beri nama yang rentan bully.
  Yang terpenting pola asuh dan pola didik benar sehingga nama tidak sekadar nama. Tidak sekadar pepesan kosong dan janji-janji ala pemilu. (*)  

URIP IKU NGELAKONI

  SEJAK awal mengambil jalan alternatif sebagai pengusaha partikelir hidup tak lagi sama. Hidup adalah tentang mengubah peluang menjadi uang. Saya mengambil peran sebagai makhoda kapal.
  Namanya juga kapal, kadang ada gelombang, kadang laut tenang menghanyutkan. Kadang mesti pandai-pandai melompati melintasi badai karena pilihanya cuma berjuang atau habis terempas dan kandas.
  Nah dalam perjuangan ini, sering rasanya habis napas. Sering rasanya habis tenaga. Ingin terjun saja ke laut dan menungggu sekoci dari entah kapal siapa. Atau, sering tergoda mengemudi kapal kembali ke pantai, menjangkar dan berhenti saja. Pulang.
  Manusia selalu tergoda untuk merasa dunia berpusat kepadanya. Saat prahara menerpa, nasibnyalah yang paling nahas. Setidaknya saya sering begitu: orang paling apes sejagat raya. Hidupmu saudari, bagaimana?
  Hidup saya resah, gelisah, cemas sekaligus. Semua serba tak pasti. Finansial dalam kondisi harap-harap cemas, ditambah saya adalah jenis orang yang tak pernah berhasil punya tabungan. Terkelompok dalam jenis manusia yang lemah godaan dan terbiasa mencipakan serangkaian kebutuhan bersifat tersier atas nama gaya hidup.
  Ditambah departemen hubungan yang sama tak jelasnya. Pria-pria datang dan pergi, cuma mampir, belum ada yang pas untuk tinggal. Peer pressure.
  Sepertinya tiap orang melangkah ke tahap baru kehidupan; membeli simbol-simbol kemapanan baru, memamerkan status baru; sedang saya masih di sini-sini saja. Saya rapuh, nyaris jatuh. Tapi, saya memutuskan belum saatnya menyerah kalah. Belum saatnya menggantung nasib.
  Kadang untuk merasa beruntung, kita perlu melihat sekeliling. Ini perkara memahami bahwa atas dan bawah hanya posisi dengan pertarungan sendiri-sendir. Atas dan bawah punya senang dan susah masing-masing.
  Ada seorang teman yang panik mengira diri gangguan mag akut atau malah kanker usus. Sibuk berobat, eh, ternyata dia hamil enam bulan. Perempuan paling ambisius soal karir yang saya kenal, yang hidupnya cuma urusan meeting, deadline, dan klien. Perempuan yang lebih tahan dengan anak kucing daripada anak manusia tiba-tiba menghitung hari untuk jadi ibu.
  Lalu, saya pikir-pikir, kenapa terlalu banyak berlogika, berhitung diatas kertas? Hidup adalah soal menjalani. Buang semua hitung-hitungan njelimit soal rencana dan strategi, ikut dan percaya saja. Anggap saja ini pertualangan. Percayakan nasib dan berbaik sangka kepada Tuhan.      
  Tutup mata secara sukarela dan berjalan dengan waspada. Bawa bekal secukupnya saja. Nasib baik dan keselamatan, apalagi bahagia, nggak pernah dijual pakai kurs mata uang manusia.
 urip iku perkara ngelakoni. Menjalani. Hal-hal yang paling kita hindari adalah hal-hal yang akan menjadi ujian perjalanan. Jangan memutuskan berhenti terlalu cepat. Kadang kesenangan dan kesuksesan ada dibelokan jalan yang kita ambil hari ini. (*)  

MENIMBANG BODI & BUDI

CANTIK melulu tentang itu dan itu saja. Membosankan. Putih, tinggi, langsing, rambut panjang, punggung tidak bolong. Berkat konspirasi pihak-pihak tertentu standardisasi cantik itu diamini dan diimani secara global.
  Eka shanti, seorang mantan jurnalis yang memilih keluar dari TV tempatnya bekerja karena tidak diperbolehkan berhijab, membidani ajang kecantikan alternatif. Konon, dia ingin memberi wajah baru terhadap Islam. Awalnya dikhususkan untuk muslimah Indonesia, tapi per tahun ini dibuat Internasional. Di final ada 20 finalis dari delapan negara yang dipilih secara online.
  Sebagai kontes alternatif, ada juga cita-cita besar untuk membei pilihan bagi para perempuan, khususnya yang muslim, hendak lengak-lengok sekuler atau lengak-lengok islami. World Muslimah ini mengadu kecantikan dan keimanan, juga kelancaran membaca Alquran. Utopia saat para kontestannya berbagi cerita bahwa satu sama lain adalah saudari yang tidak berkompetisi untuk lebih dari yang lain. Dalam hati saya bertanya, adakah cara manusia untuk menilai dan memperbandingkan tingkat ketaatan agama dan kadar keimanan?
  Memilih waktu yang dekat dengan gelaran kontes kecantikan sekuler internasional lain, Miss World, rasanya mau tak mau menciptakan dikotomi. Kontes kecantikan yang "halal" dan yang "haram". Keduanya saya bubuhi tanpa petik ganda. Sebab, halal dan haram adalah topik subjektif, kadang malah etalase pamer siapa yang lebih benar daripada yang lain.
  Menarik untuk mengamati yang dipilh sebagai pemenang World Muslimah tahun ini. Saat kemudian yang ditahbiskan sebagai ratu adalah yang tergelap kulitnya dan bukan yang tercantik menurut standar umum. Perlawanan terhadap simbol cantik dan kecantikan telah dilakukan.
  Obabiyi Aishah Ajibola, 21, asal Nigeria. Badanya tinggi besar, tidak luwes saa5t melenggang kulitnya gelap, berbahasa Inggris tidak sempurna.
  Ada dekonstruksi yang secara sadar dan berani telah dilakukan oleh tim juri. Dekonstruksi melawan sandaran kecantikan masal: putih, langsing, hidung bangir, alis beriring, bibir tipis merah merona alami. Ini sebuah perlawanan yang bernyali dan berani.
  Tapi, Sekali lagi, yang tampak etalase kecantikan. Parade bungkus. Perempuan-prempuan berhijab mewah karya Dian Pelangi beradu dengan perempuan aneka bangsa belenggok dalam baju nasional. Yang satu mengadu lancar membaca Alquran, sementara yang lain melepas anak penyu. Senyum terencana, sikap tubuh sempurna, dan jawaban-jawaban normatif sepanjang acara. Saya rindu melihat sesuatu yang mengentak. Menimbulkan decak. Mungkin ekspektasi tinggi tak pernah boleh di lekatkan pada sebuah kontes kecantikan.
  Lalu, pertanyaan ini mengemuka, pantaskan kecantikan bodi dan budi dikompetisikan? Menimbang bodi mungkin urusan mudah, cukup dicari yang kombinasinya paling simetris.
  Urusan menimbang budi, nah ini persoalan. Pengamatan selama masa karantina tak pernah akan cukup. Tapi, simetrisnya otak dan hati siapa yang tahu? Video dan wawancara nggak akan pernah bisa menakar, mengintip pun tidak. Kelakuan mungkin bisa terukur, tapi sekali lagi itu kan cuma soal tatanan pantas dan patut.
  Karena itu, rasanya tak ada yang pantas mengadu perempuan. Soal siapa lebih cantik daripada siapa, apalagi soal siapa yang lebih berbudi, bertakwa, dan beiman daripada siapa. Sebab, kita, perempuan,bukan jangkrik aduan, dan mereka, dewan juri, bukan Tuhan. (*)    

THE SCIENCE OF LUCK

  SAYA termasuk spesies orang yang nggak beruntung alias minim hoki. Seumur hidup, hitungan kurang dari setelapak tangan saya dapat undian. Kalaupun dapat,  jenis hadiah hiburan yang paling hiburan, macam mug, payung, atau voucher-vhoucer lucu.
  Kalau urusan undi-mengundi, saya angkat tangan dan pulang cepat untuk urusan door prize. Sementara itu, daftar blacklist banyak media, mulai radio sampai majalah, karena tiap ikut kuis selalu dapat hadiah. Dia masuk kategorisasi haram menang karena dianggap bounty hunter alias pemburu hadiah. Sampai-sampai dia menyamar aneka nama, bahkan pinjam KTP dari teman sampai pembantu, kalau hasrat iseng ingin ikut kuis sedang membara.
  Setelah saya amati, kadar dan jenis kemenangan saya nggak pernah di jenis-jenis undian ,tapi selalu di kompetens. Kemenangan yang butuh keringat,  darah, doa, dan air mata.
  Sampai akhir pekan lalu, saya ikut creative trip ke Singapura, hadiah dari salah satu kosmetik karena jadi satu di antara sembilan pemenang untuk perempuan pekerja atau profesional.
   Senang? Tentu. Well, ini lagi-lagi bukan hasil keberuntungan. Sebab, saringan untuk jadi pemenang bukan urusan undi nama. Saya harus berjuang menampilkan pencapaian dan passion hidup saya dalam bentuk presentasi memikati hati juri. Tetapi, dari perjalanan ini, saya menemukan pelajaran berharga tentang untung, beruntung, dan keberuntungan.
  Dari salah seorang pengajar di perjalanan kreatif itu, saya mendapat catatan menarik. Sama sekali bukan materi pokok dari kelas yang diajarinya, yang tentang problem solving melalui gambar. Namanya Ai Yat Goh, perempuan setengah baya, nyaris 60 tahun. Pensiunan banker senior yang akhirnya jadi dosen. Warna kulit dan mata sipit ternyata berbuah diskriminasi. Pendapatan. Sebagai warga lokal singapura, harga satu jam mengajarnya ternyata cuma seperempat dari harga para dosen ekspatriat yang berambut pirang, bermata keberuntungan, dia memutuskan menciptakan keberuntungan.
   Katanya, diantara total populasi manusia di bumi, hanya 2-3 persen yang lahir berutung. Mereka yang nasibnya ala si Untung Bebek ini supermioritas.  Lainya adalah mereka yang harus berjuang mencipakan keberuntungan.
  Masih kita Ai Yat, Kombinasi resep keberuntungan adalah berada di tempat yang tepat, di waktu yang tepat. Tapi, bagaimana caranya menangkap momentum waktu dan tempat? Katanya sederhana saja: selalu berada di sana setiap saat. Jadi persisten dan konsisten. Keras kepala untuk selalu siap sedia menangkap momentum.
  Lalu, saya mulai berpikir, ilmu pasti keberuntungan mungkin memang di situ. Karena kita bukan jenis yang lahir beruntung, kitalah yang harus menciptakan keberuntungan. Terus dan terus mencoba, jangan pernah absen. Sebab, bisa jadi saat kita memutuskan absen berusaha, keberuntungan sedang berbaik hati kepada kita.
  Jadi sekali lagi, ilmu pasti menangkap keberuntungan sederhana saja: keras kepala dan keras niat. Jalani usaha dengan rajin-rajin menyebut nama-Nya dalam setiap langkah sambil berharap Tuhan sedang berminat memberikan berkah-Nya. (*)  

Selasa, 14 Januari 2014

TERPERANGKAP ASAP

SAAT berbuka disebuah mal, seperti lazimnya buka puasa, semua bangku di restoran-restoran padat sesak. Saya dihajar fenomena. Mungkin cuma terjadi di kota besar, perempuan-perempuan aneka usia, bertutup kepala maupun bertelanjang kepala, asyik merokok. Yang paling mengusik, mereka merokok di antara anak-anak merka yang masih kecil. 
  Merokok sama seperti paket kecanduan yang lain, sepenuhnya masalah pilihan dan pengabaian kesehatan. Dunia seperti supermarket serba ada, kita yang memilih paket kecanduan kita; belanja, nonton sinetron, mirasantika, main games, atau jenis-jenis lain. Kitalah yang menyerahkan diri untuk melupakan timbangan kesehatan, untung-rugi kantong, dan dijajah oleh pilihan kita. 
  Nah, bagaimana soal perempuan dan asap? Menurut data Center of Disease Control and Prevention AS, pada 2010, 10 persen perempuan dewasa di dunia merokok dan di Indonesia masuk ranking ke-13 sebagai negara dengan jumlah perokok perempuan terbanyak. Nggak heran karena Indonesia masuk lima besar negara dengan jumlah perokok terbanyak.
  Seharusnya, merokok memang dilihat secara bebas gender dan bebas praduga, tapi sekali lagi berterima kasihlah kepada masyarakat berstandar ganda yang maha-plinplan tersebut. Berangkat dari stigma pantas dan tak pantas itu pula, ada generalisasi itu berubah reaksi. Beberapa teman perempuan secara sengaja memilih merokok untuk mendobrak tatanan, menghapus stigma, dan menyatakan sikap. Yang lain ingin melabrak tatanan gender. Karena merokok selalu soal kejantanan, mereka ingi menunjukan bahwa mereka pun bisa sama jantan secara pilihan candu. 
  Hasil survei Koalisi untuk Indonesia Sehat pada 2010 menyebut bahwa 54,59 persen remaja dan perempuan merokok dengan tujuan mengurangi ketegangan dan stres, lainya beralasan untuk bersantai 29,36 persen, merokok sebagaimana dilakukakan pria 12,84 persen, karena pertemanan 2,29 persen, dan 0,92 persen ingin diterima di pergaulan. 
  Fakta terakhir yang memiriskan hati itu tak jarang dianut para perempuan perokok amatir. Rokok adalah standar kekeranan. Tak jarang saya melihat disalah satu kedai kopi asal Amerika, perempuan-perempuan berusia 15-16 tahunan berkelompok, adu mahir menggantang asap dari bibir. 
Mungkin ini tak lepas dari jiwa muda yang sok rock n roll dan ingin mencicipi banyak hal. Generasi yang lebih takut nggak bisa update status media sosial daripada punya paru-paru bolong. 
  Tapi, sekali lagi, buat saya, merokok bukan masalah gender, isu yang pantas cuma sadar kesehatan. Sebab, saya yang sok modern ini pun tak sepenuhnya steril dari godaan rokok dan merokok. Cuma, saya memilih tidak lagi diperbudak candu. Memilih jadi Tuhan daripada jadi korban. 
  Mari kita bungkus saja persepsi bahwa merokok adalah pilihan personal dan memilih program kecanduan sama personalnya seperti memilih agama. Kita anggap saja semua yang merokok itu sudah tahu konsekuensi dari pilihan hidupnya. Sebab, seperti iman, sudah membuat orang berhenti membakari paru-parunya hanya dengan kata-kata, sama mustahilnya dengan menakut-nakuti hanya dengan gambar paru-paru compang-camping. Biar seperti hidayah, berhenti merokok itu datang sendiri.
  Tapi, merokok instan jadi urusan haram saat dilakukan seorang ibu di dekat anak-anaknya. Saya rasa mereka yang merokok dengan sengaja didepan anak pasti lupa membawa akal sehatnya keluar rumah. Mungkin pertimbangan otaknya tertinggal dilemari. Bayangkan muka-muka lugu dan tak berdosa anak-anak yang disemburi asap karena tidak di izinkan untuk memilih. 
  Alam mengatur secara timpang bahwa yang pasif-lah yang akan jadi korban paling parah. Mereka yang tidak berbuat sering yang jadi korban. Di situlah anak-anak yang diasapi itu di dudukan. Mereka nggak berdaya memilih. 
  Tapi, kemarin saya juga sama nggak berdayanya saat melihat sekumpulan ibu-ibu yang serempak mengasapi anak-anaknya di meja sebelah. Gelembung batas personal dan rikuh rasanya kabur dan jauh. Mata saya cuma nggak habis-habis memandang anak-anak yang sibuk makan mie goreng dari piringnya. Rasanya lidah saya lesap. Hilang kata untuk menegur ibu-ibu itu satu-satu. Saya cuma berharap mereka tak lupa membawa akal sehatnya lain kali. Semoga Tuhan mendengar doa saya. (*)

Rabu, 08 Januari 2014

KEPALA RELIGIUS VERSUS PINGGUL SEKULER

RAMADAN dan banyak hijaber dadakan. Sebagaian berwujud selebriti di aneka acara berbalut religi, tapi sama sekali tak agamais. Sebagian lagi di jalan , di mal, di pengajian, di acarabuka puasa bersama, di acara amal dan lain-lain. Para hijaber kasuistik. Yang berhijab karena menyesuaikan tema bulan.
Teman saya, gadis cantik bernama Cahya, adalah pendiri salah satu komunitas  besar perempuan berhijab di Indonesia dengan kegiatan yang tersebar di 30 kota. Motivasi awalnya saat berhijab adalah menutup pesona. Dia lelah salah dimaknai lingkungan karena penampilan fisiknya. Ternyata, hijab membuka banyak usaha toko online, hingga jadi pemenang kompetisiperempuan profesional yang di adakan  sebuah perusahaan kosmetik.
saya membaca sebuah tulisan pendek kemarin, edisi akhir pekan sebuah koran. Cerita tentang bagaimana perempuan memperlakukan tubuhnya. tentang anak gadis yang ber-Hot pants atas nama tubuhnya adalah milik dan hak nya, maka pakaian adalah ekspresi diri dan kemerdekaan. Juga tentang seorang istri yang memilih berhijab-bercadaratas nama tubuhnya adalah milik-Nya. Wacana menarik dan membuat saya tergelitik. Bagaimana mereka yang menutup kepalanya, tetapi berbaju ketat di dada, di pinggul, dan berbahan menerawang,. Mereka berbusana atas nama apa?
Atas nama siapa???
Dari sebuah liputan CNN, saya menculik suatu istilah menarik, "Jakarta is the new Mecca for Moslem fashion industry". Sebagai Makkah, Jakarta menjadi kiblat. Artinya seluruh gaya berbusana muslimah di dunia di tentukan di sini. Bagai paris, Jakarta adalah panutan untuk urusan tutup kepala, abaya, serta tunik. tak aneh Dian Pelangi di undang fashion show hingga paris.
Jenahara, yang juga anak fashion designer sekaligus penyanyi Ida Royani, diundang ikut Hongkong Fashion Week.
Ibu saya sudah bergelar hajah. Setahun sebelum naik haji pun, hobinya sudah mengumpulkan hijab aneka model dan umurnya. Sudah tak pantas ke sana kemari telanjang kepala.
Beberapa bulan lalu saya mengganti foto diri di kolom Halau Galau. Sebelumnya berpose misterius,hitam putih dengan bibir merah merona.  Lalu, Untuk mengesankan bebas Galau, saya menggantinya dengan foto tersenyum cerah dan rambut mnegembang.
Tahu nggak, ada seorang pembaca, lelaki, yang mengirimi saya surat elektronik dan menegur. Intinya, dia menyayangkan, kenapa saya yang sebelumnya menutup kepala memutuskan untuk mengumbar rambut. Ini persepsi yang salah karena sejak awal rambut saya tak ditutup, malah bentuk baju yang ala kimono itu cukup terbuka, hanya di akali dengan di sunting sebatas bahu. Ada penghakiman sepihak. Tuduhan berdasar sudut panjang. Seolah saya berubah isi hati dan kadar keimanan. Hanya karena perkara sepotong foto.
Dari semua potongan-potongan cerita tersebut, ada sesuatu yang mengelitik saya seputar hijab: kepala yang religius versus pinggul yang sekuler. Izinkan saya yang belum berhijab ini berbaik sangka dan mengungkapkan pendapat.
Terlepas dari hijab adalah perkara fenomena tren dan fashion, semoga perempuan semua berhijab memutuskan menutup semua auratnya karena panggilan hati. Anggaplah bahwa tren hijab ini adalah ajakan masal untuk berbuat kebaikan.
Nah, sekarang waktunya masyarakat untuk sebaliknya menyekulerkan kepalanya dan mereligiuskan pinggulnya. Berpikir dan berbaik sangka terhadap perbedaan. Bahwa penampilan adalah pilihan dan ekspektasi karena pilihan penampilan itu wajar. Tapi, waktunya berhenti menghakimi dan bersikap sok benar. Waktunya belajar dan mampu menata hasratnya. Sebab, tubuh perempuan adalah berkah, bukan musibah, sehingga harus dituduh-tuduh memancing syahwat melulu. Kami, perempuan, lelah di dakwa. (*)