Kamis, 23 Januari 2014

MENIMBANG BODI & BUDI

CANTIK melulu tentang itu dan itu saja. Membosankan. Putih, tinggi, langsing, rambut panjang, punggung tidak bolong. Berkat konspirasi pihak-pihak tertentu standardisasi cantik itu diamini dan diimani secara global.
  Eka shanti, seorang mantan jurnalis yang memilih keluar dari TV tempatnya bekerja karena tidak diperbolehkan berhijab, membidani ajang kecantikan alternatif. Konon, dia ingin memberi wajah baru terhadap Islam. Awalnya dikhususkan untuk muslimah Indonesia, tapi per tahun ini dibuat Internasional. Di final ada 20 finalis dari delapan negara yang dipilih secara online.
  Sebagai kontes alternatif, ada juga cita-cita besar untuk membei pilihan bagi para perempuan, khususnya yang muslim, hendak lengak-lengok sekuler atau lengak-lengok islami. World Muslimah ini mengadu kecantikan dan keimanan, juga kelancaran membaca Alquran. Utopia saat para kontestannya berbagi cerita bahwa satu sama lain adalah saudari yang tidak berkompetisi untuk lebih dari yang lain. Dalam hati saya bertanya, adakah cara manusia untuk menilai dan memperbandingkan tingkat ketaatan agama dan kadar keimanan?
  Memilih waktu yang dekat dengan gelaran kontes kecantikan sekuler internasional lain, Miss World, rasanya mau tak mau menciptakan dikotomi. Kontes kecantikan yang "halal" dan yang "haram". Keduanya saya bubuhi tanpa petik ganda. Sebab, halal dan haram adalah topik subjektif, kadang malah etalase pamer siapa yang lebih benar daripada yang lain.
  Menarik untuk mengamati yang dipilh sebagai pemenang World Muslimah tahun ini. Saat kemudian yang ditahbiskan sebagai ratu adalah yang tergelap kulitnya dan bukan yang tercantik menurut standar umum. Perlawanan terhadap simbol cantik dan kecantikan telah dilakukan.
  Obabiyi Aishah Ajibola, 21, asal Nigeria. Badanya tinggi besar, tidak luwes saa5t melenggang kulitnya gelap, berbahasa Inggris tidak sempurna.
  Ada dekonstruksi yang secara sadar dan berani telah dilakukan oleh tim juri. Dekonstruksi melawan sandaran kecantikan masal: putih, langsing, hidung bangir, alis beriring, bibir tipis merah merona alami. Ini sebuah perlawanan yang bernyali dan berani.
  Tapi, Sekali lagi, yang tampak etalase kecantikan. Parade bungkus. Perempuan-prempuan berhijab mewah karya Dian Pelangi beradu dengan perempuan aneka bangsa belenggok dalam baju nasional. Yang satu mengadu lancar membaca Alquran, sementara yang lain melepas anak penyu. Senyum terencana, sikap tubuh sempurna, dan jawaban-jawaban normatif sepanjang acara. Saya rindu melihat sesuatu yang mengentak. Menimbulkan decak. Mungkin ekspektasi tinggi tak pernah boleh di lekatkan pada sebuah kontes kecantikan.
  Lalu, pertanyaan ini mengemuka, pantaskan kecantikan bodi dan budi dikompetisikan? Menimbang bodi mungkin urusan mudah, cukup dicari yang kombinasinya paling simetris.
  Urusan menimbang budi, nah ini persoalan. Pengamatan selama masa karantina tak pernah akan cukup. Tapi, simetrisnya otak dan hati siapa yang tahu? Video dan wawancara nggak akan pernah bisa menakar, mengintip pun tidak. Kelakuan mungkin bisa terukur, tapi sekali lagi itu kan cuma soal tatanan pantas dan patut.
  Karena itu, rasanya tak ada yang pantas mengadu perempuan. Soal siapa lebih cantik daripada siapa, apalagi soal siapa yang lebih berbudi, bertakwa, dan beiman daripada siapa. Sebab, kita, perempuan,bukan jangkrik aduan, dan mereka, dewan juri, bukan Tuhan. (*)    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar