Rabu, 08 Januari 2014

KEPALA RELIGIUS VERSUS PINGGUL SEKULER

RAMADAN dan banyak hijaber dadakan. Sebagaian berwujud selebriti di aneka acara berbalut religi, tapi sama sekali tak agamais. Sebagian lagi di jalan , di mal, di pengajian, di acarabuka puasa bersama, di acara amal dan lain-lain. Para hijaber kasuistik. Yang berhijab karena menyesuaikan tema bulan.
Teman saya, gadis cantik bernama Cahya, adalah pendiri salah satu komunitas  besar perempuan berhijab di Indonesia dengan kegiatan yang tersebar di 30 kota. Motivasi awalnya saat berhijab adalah menutup pesona. Dia lelah salah dimaknai lingkungan karena penampilan fisiknya. Ternyata, hijab membuka banyak usaha toko online, hingga jadi pemenang kompetisiperempuan profesional yang di adakan  sebuah perusahaan kosmetik.
saya membaca sebuah tulisan pendek kemarin, edisi akhir pekan sebuah koran. Cerita tentang bagaimana perempuan memperlakukan tubuhnya. tentang anak gadis yang ber-Hot pants atas nama tubuhnya adalah milik dan hak nya, maka pakaian adalah ekspresi diri dan kemerdekaan. Juga tentang seorang istri yang memilih berhijab-bercadaratas nama tubuhnya adalah milik-Nya. Wacana menarik dan membuat saya tergelitik. Bagaimana mereka yang menutup kepalanya, tetapi berbaju ketat di dada, di pinggul, dan berbahan menerawang,. Mereka berbusana atas nama apa?
Atas nama siapa???
Dari sebuah liputan CNN, saya menculik suatu istilah menarik, "Jakarta is the new Mecca for Moslem fashion industry". Sebagai Makkah, Jakarta menjadi kiblat. Artinya seluruh gaya berbusana muslimah di dunia di tentukan di sini. Bagai paris, Jakarta adalah panutan untuk urusan tutup kepala, abaya, serta tunik. tak aneh Dian Pelangi di undang fashion show hingga paris.
Jenahara, yang juga anak fashion designer sekaligus penyanyi Ida Royani, diundang ikut Hongkong Fashion Week.
Ibu saya sudah bergelar hajah. Setahun sebelum naik haji pun, hobinya sudah mengumpulkan hijab aneka model dan umurnya. Sudah tak pantas ke sana kemari telanjang kepala.
Beberapa bulan lalu saya mengganti foto diri di kolom Halau Galau. Sebelumnya berpose misterius,hitam putih dengan bibir merah merona.  Lalu, Untuk mengesankan bebas Galau, saya menggantinya dengan foto tersenyum cerah dan rambut mnegembang.
Tahu nggak, ada seorang pembaca, lelaki, yang mengirimi saya surat elektronik dan menegur. Intinya, dia menyayangkan, kenapa saya yang sebelumnya menutup kepala memutuskan untuk mengumbar rambut. Ini persepsi yang salah karena sejak awal rambut saya tak ditutup, malah bentuk baju yang ala kimono itu cukup terbuka, hanya di akali dengan di sunting sebatas bahu. Ada penghakiman sepihak. Tuduhan berdasar sudut panjang. Seolah saya berubah isi hati dan kadar keimanan. Hanya karena perkara sepotong foto.
Dari semua potongan-potongan cerita tersebut, ada sesuatu yang mengelitik saya seputar hijab: kepala yang religius versus pinggul yang sekuler. Izinkan saya yang belum berhijab ini berbaik sangka dan mengungkapkan pendapat.
Terlepas dari hijab adalah perkara fenomena tren dan fashion, semoga perempuan semua berhijab memutuskan menutup semua auratnya karena panggilan hati. Anggaplah bahwa tren hijab ini adalah ajakan masal untuk berbuat kebaikan.
Nah, sekarang waktunya masyarakat untuk sebaliknya menyekulerkan kepalanya dan mereligiuskan pinggulnya. Berpikir dan berbaik sangka terhadap perbedaan. Bahwa penampilan adalah pilihan dan ekspektasi karena pilihan penampilan itu wajar. Tapi, waktunya berhenti menghakimi dan bersikap sok benar. Waktunya belajar dan mampu menata hasratnya. Sebab, tubuh perempuan adalah berkah, bukan musibah, sehingga harus dituduh-tuduh memancing syahwat melulu. Kami, perempuan, lelah di dakwa. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar