Selasa, 14 Januari 2014

TERPERANGKAP ASAP

SAAT berbuka disebuah mal, seperti lazimnya buka puasa, semua bangku di restoran-restoran padat sesak. Saya dihajar fenomena. Mungkin cuma terjadi di kota besar, perempuan-perempuan aneka usia, bertutup kepala maupun bertelanjang kepala, asyik merokok. Yang paling mengusik, mereka merokok di antara anak-anak merka yang masih kecil. 
  Merokok sama seperti paket kecanduan yang lain, sepenuhnya masalah pilihan dan pengabaian kesehatan. Dunia seperti supermarket serba ada, kita yang memilih paket kecanduan kita; belanja, nonton sinetron, mirasantika, main games, atau jenis-jenis lain. Kitalah yang menyerahkan diri untuk melupakan timbangan kesehatan, untung-rugi kantong, dan dijajah oleh pilihan kita. 
  Nah, bagaimana soal perempuan dan asap? Menurut data Center of Disease Control and Prevention AS, pada 2010, 10 persen perempuan dewasa di dunia merokok dan di Indonesia masuk ranking ke-13 sebagai negara dengan jumlah perokok perempuan terbanyak. Nggak heran karena Indonesia masuk lima besar negara dengan jumlah perokok terbanyak.
  Seharusnya, merokok memang dilihat secara bebas gender dan bebas praduga, tapi sekali lagi berterima kasihlah kepada masyarakat berstandar ganda yang maha-plinplan tersebut. Berangkat dari stigma pantas dan tak pantas itu pula, ada generalisasi itu berubah reaksi. Beberapa teman perempuan secara sengaja memilih merokok untuk mendobrak tatanan, menghapus stigma, dan menyatakan sikap. Yang lain ingin melabrak tatanan gender. Karena merokok selalu soal kejantanan, mereka ingi menunjukan bahwa mereka pun bisa sama jantan secara pilihan candu. 
  Hasil survei Koalisi untuk Indonesia Sehat pada 2010 menyebut bahwa 54,59 persen remaja dan perempuan merokok dengan tujuan mengurangi ketegangan dan stres, lainya beralasan untuk bersantai 29,36 persen, merokok sebagaimana dilakukakan pria 12,84 persen, karena pertemanan 2,29 persen, dan 0,92 persen ingin diterima di pergaulan. 
  Fakta terakhir yang memiriskan hati itu tak jarang dianut para perempuan perokok amatir. Rokok adalah standar kekeranan. Tak jarang saya melihat disalah satu kedai kopi asal Amerika, perempuan-perempuan berusia 15-16 tahunan berkelompok, adu mahir menggantang asap dari bibir. 
Mungkin ini tak lepas dari jiwa muda yang sok rock n roll dan ingin mencicipi banyak hal. Generasi yang lebih takut nggak bisa update status media sosial daripada punya paru-paru bolong. 
  Tapi, sekali lagi, buat saya, merokok bukan masalah gender, isu yang pantas cuma sadar kesehatan. Sebab, saya yang sok modern ini pun tak sepenuhnya steril dari godaan rokok dan merokok. Cuma, saya memilih tidak lagi diperbudak candu. Memilih jadi Tuhan daripada jadi korban. 
  Mari kita bungkus saja persepsi bahwa merokok adalah pilihan personal dan memilih program kecanduan sama personalnya seperti memilih agama. Kita anggap saja semua yang merokok itu sudah tahu konsekuensi dari pilihan hidupnya. Sebab, seperti iman, sudah membuat orang berhenti membakari paru-parunya hanya dengan kata-kata, sama mustahilnya dengan menakut-nakuti hanya dengan gambar paru-paru compang-camping. Biar seperti hidayah, berhenti merokok itu datang sendiri.
  Tapi, merokok instan jadi urusan haram saat dilakukan seorang ibu di dekat anak-anaknya. Saya rasa mereka yang merokok dengan sengaja didepan anak pasti lupa membawa akal sehatnya keluar rumah. Mungkin pertimbangan otaknya tertinggal dilemari. Bayangkan muka-muka lugu dan tak berdosa anak-anak yang disemburi asap karena tidak di izinkan untuk memilih. 
  Alam mengatur secara timpang bahwa yang pasif-lah yang akan jadi korban paling parah. Mereka yang tidak berbuat sering yang jadi korban. Di situlah anak-anak yang diasapi itu di dudukan. Mereka nggak berdaya memilih. 
  Tapi, kemarin saya juga sama nggak berdayanya saat melihat sekumpulan ibu-ibu yang serempak mengasapi anak-anaknya di meja sebelah. Gelembung batas personal dan rikuh rasanya kabur dan jauh. Mata saya cuma nggak habis-habis memandang anak-anak yang sibuk makan mie goreng dari piringnya. Rasanya lidah saya lesap. Hilang kata untuk menegur ibu-ibu itu satu-satu. Saya cuma berharap mereka tak lupa membawa akal sehatnya lain kali. Semoga Tuhan mendengar doa saya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar