Minggu, 26 Januari 2014

ANTARA PEREMPUAN, IBU, CABAI DAN TERONG

Selamat hari perempuan, 22 Desember kemarin! 
Ya, bukan Hari Ibu, jadi semua perempuan 
berhak diselamati. Untuk yang sudah atau yang akan, 
juga untuk yang memilih tidak, karena keadaan,
kesehatan, atau pilihan sadar lain.


TERNYATA 22 Desemmber menandai kongres perempuan pertama di Jogja. Saat itu para perempuan Indonesia membicarakan hal-hal penting seputar keperempuanannya. Hak untuk terlibat dilebih banyak bidang, hak atas kesehatan, hak untuk selamat dari perkawinan dini, juga hak anak-anak dan perempuan untuk diselamatkan dari perdagangan. 
  Bahwa yang perlu dirayakan sejatinya adalah keperempuanannya, kesadarannya untuk melintas batas yang diciptakan budaya, juga kontribusi perempuan terhadap bangsa ini. Itu mestinya lebih dari sekedar perayaan dan puja-puji untuk keibuanya.
  Konon, itu usaha sebuah rezim untuk menumpulkan perempuan, menempatkanya sebagai hanya kanca winngking, semata menjalankan fungsi domestik. Walaupun sungguh tak ada yang salah dengan selebrasi terhadap ibu dan keibuanya. Tapi, perempuan sejatinya lebih dari sekedar itu. 
  Tentang perempuan dan ibu, merekalah yang selalu didakwa sebagai pilar keluarga. Kenapa didakwa? Sebab, merekalah yang paling dipersalahkan untuk kegagalan sebuah keluarga. 
  Untuk anak-anak yang gagal menjadi baik menurut standar kelaziman, untuk anak-anak yang dianggap gagal oleh lingkungan, semua berada dipunggung ibu-ibu. Bahkan, bapak-bapak pun merasa berhak untuk mendakwa, seolah sepenuhnya tanggung jawab ibu, bahwa uang-uang yang mereka bawa pulang sudah cukup sebagai urun tanggung jawab untuk keluarga. 
  Bicara tentang ibu, susah jadi ibu zaman sekarang, di zaman buah-buahan dan sayur-sayuran tak semata merujuk pada makna aslinya. Di saat dunia, setidaknya di Indonesia, apel, BlackBerry, Cabai, dan terong telah bermakna ganda. 
  Dua yang pertama tentunya menurut pada perkembangan teknologi, alat komunikasi yang menyesaki saku-saku ABG masa kini. Tempat hidup mereka berjejak dan mata mereka tak pernah lepas dari layarnya. Dua yang terakhir adalah istilah yag sedang heboh dibicarakan di Twitter dan media digital, cabai-cabaian dan terong-terongan. 
  Cabai-cabaian mengarah pada pengertian gadis-gadis muda yang memilih untuk melonggarkan susilanya atas nama pergaulan. Konon, jenisnya di bedakan menurut kelas sosial, mulai ramai di amati di Jakarta. Tapi, apapun namanya, saya rasa cukup relavan dikota-kota lain, besar dan kecil. Kalau Anda paham istilah jablay atau alay, ini adalah versi 2.0-nya. 
  Kategorinya, menurut seorang selebtwit , Gofar, di pecah tiga. Hijau adalah anak SMA-SMP dari sekolah gaul yang hobinya dandan, berhak tinggi, dan berbaju seksi diluar umurnya, juga cari umur untuk clubbing dan pulang pagi. 
  Untuk merah, nongkrong-nya masih diswalayan bertempat duduk, biasanya juga hobi ke kelab, tapi masih bergantung pada invitation geratisan dan guest list. Biasanya ramai di university night di kelab-kelab. Nah, mereka getol mengencani DJ atau bisa diajak pulang anak yang kelihatan gaul demi akses mudah ke kelab. 
  Cabai oranye adalah gadis-gadis SMA-SMP pinggiran yang bergaul lebih ke kafe kaki lima dan hobi nongkrongin para pembalap liar. Untuk mengeksiskan diri, mereka rela jadi hadiah tambahan bagi pembalap liar yang juara malam itu . 
  Sekarang cerita tentang fenomena terong-terongan. Para pelakunya adalah ABG pria yang krisis identitas seksual. Bentuknya sih lelaki, tapi hobinya pakai foundation, kosmetik tipis-tipis, celana legging aneka warna, juga T-shirt V neck seperdalam, plus tentunya laku kemayu. 
Mereka banyak dijumpai di jajaran penonton acara musik di TV, yang heboh jadi  bulanan-bulanan MC yang tak kalah kemayu dengan joget ucek-jemur. Juga bertaburan di laman-laman Facebook dengan foto selfie aneka gaya. Itu tak lepas dari figur idola mereka yang kemayu dan kenes walau lelaki. 
  Seperti ada syarat tidak tertulis kalau nggak kemayu, jangan harap jadi bintang layar kaca, jadi MC acara live lima kali sehari, beli mobil, liburan, masuk infotainment. Nah, jenis terong-terongan ini adalah golongan gay-hibrida. Pria-pria muda yang memilih menjadi gay semata karena tren. 
  Nah, benar kan? (Makin) Susah jadi ibu? zaman sekarang? Jadi, semoga hari perempuan atau Hari Ibu atau hari pun apa namanya menguatkan hati-hati perempuan untuk menjadi ibu-ibu yang lebih baik, lebih bijak, lebih luas dan sabar hatinya. (*) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar