Minggu, 26 Januari 2014

GEGAR STATUS

  SEORANG om 40-an akhir, berambut klimis agak jarang, berbaju safari, dengan kumis tipis beriring diatas bibir sedang berbicara dengan gadis berambut belah tengah, "Jangan panggil bapak dong, panggil mas aja." Adegan yang lazim saya tonton dalam film-film pada 80-an. Biasanya ucapan sejenis diungkapkan om-om genit yang sedang puber kedua. Krisis identitas.
  Sekitar 20 tahun kemudian, ternyata saya menjelma om-om dalam kemasan yang sedikit berbeda. Saya baru tahu rasanya.
Sedikit paham krisisnya, walau tetap nggak paham dengan gaya salamannya. Saat lebih sering disapa "ibu" daripada "mbak". Gegar identitas, status sekaligus.
  Muailah saya menyusun daftar kemungkinan asal muasal panggilan ini. Apakah karena tampang matang pohon? Apakah kerut-merut halus di sekitar mata dan bibir saya sebegitu terlihat dari balik meja kasir? Apakah baju saya yang serius? Apakah make-up saya yang terlalu paripurna?
  Perempuan-perempuan dengan paket pertumbuhan normal biasanya mulai mengalami pergeseran  panggilan begitu mereka menyentuh 27-an.
Beberapa yang tidak cukup beruntung karena wajah dan lingkar badanya bertambah menurut deret ukur malah bisa-bisa mengalami pada usia  yang jauh lebih dini, awal 20-an. Tentu ini lebih perih, saya kirim simpati dan peluk agar ikhlas menjalani cobaan.
  Untuk melegakan hati dari keresahan gegar identitas itu, saya mengadakan percobaan kecil. Bepergian dengan gaya trendi kekinian mulai ujung kaki ke kepala. Mencoba berinteraksi di beberapa tempat. Mulai tempat normal semacam toko serba ada dan minimarket sampai tempat pergaulan anak muda seperti kafe dan distro.
  Dari 100 kali panggilan, mungkin hanya 19 persen yang membahagiakan hati dengan panggilan mbak, 1 persen dengan status ambigu dengan panggilan tante mungkin punya niat baik ingin membahagiakan hati, tapi tak cukup yakin dengan bungkus muda artifisial ini.
Sisanya tetap: memilih panggilan ibu.  Ternyata, rindu tinggal rindu. Ternyata, status panggilan saya sudah secara sah dan meyakinkan bergeser. Keluh.
  Apa salahnya sih dengan panggilan ibu? Nggak ada yang salah sih, kecuali semacam saya. Panggilan ibu mungkin adalah format hormat, sekaligus formal dan aman. Sebab, ternyata di bank dan hotel, ada peraturan tertulis bahwa konsumen perempuan cukup umur harus di panggil ibu. Fakta yang sedikit melegakan.
  Lalu saya menelisik lebih dalam, apakah gamang bin insecure ini juga dibawa status yang kebetulan masih lajang? Sebab, seyogianya panggilan ibu pasti akan lebih ikhlas diterima mereka yang memang sudah secara biologis menjadi ibu. Apakah ini sebuah mekanisme difensif untuk menolak ketuaan yang merambat diam-diam? Mungkin. Ada sebersit ketidakrelaan untuk di-fait a compli sebagai ibu-ibu.Gegar mungkin kata yang tepat. Sebab, ada ketidaksiapan untuk menghadapi kondisi dan kenyataan hidup.
  Semoga saya dijauhkan dari godaan untuk menyembuhkan gegar status ini dengan cara-carra yang kurang mulia.
Misalnya, nekat dengan merendeng berondong ke sana-kemari. Juga, tidak nekat jadi korban mode. Khilaf memilih celana gemes atau baju kelihatan pusar tanpa menimbang kodisi selulit.
Semoga saya berhasil menerima kegegaran ini dengan bijaksana, tanpa botox. Amin. (*) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar