Kamis, 23 Januari 2014

THE SCIENCE OF LUCK

  SAYA termasuk spesies orang yang nggak beruntung alias minim hoki. Seumur hidup, hitungan kurang dari setelapak tangan saya dapat undian. Kalaupun dapat,  jenis hadiah hiburan yang paling hiburan, macam mug, payung, atau voucher-vhoucer lucu.
  Kalau urusan undi-mengundi, saya angkat tangan dan pulang cepat untuk urusan door prize. Sementara itu, daftar blacklist banyak media, mulai radio sampai majalah, karena tiap ikut kuis selalu dapat hadiah. Dia masuk kategorisasi haram menang karena dianggap bounty hunter alias pemburu hadiah. Sampai-sampai dia menyamar aneka nama, bahkan pinjam KTP dari teman sampai pembantu, kalau hasrat iseng ingin ikut kuis sedang membara.
  Setelah saya amati, kadar dan jenis kemenangan saya nggak pernah di jenis-jenis undian ,tapi selalu di kompetens. Kemenangan yang butuh keringat,  darah, doa, dan air mata.
  Sampai akhir pekan lalu, saya ikut creative trip ke Singapura, hadiah dari salah satu kosmetik karena jadi satu di antara sembilan pemenang untuk perempuan pekerja atau profesional.
   Senang? Tentu. Well, ini lagi-lagi bukan hasil keberuntungan. Sebab, saringan untuk jadi pemenang bukan urusan undi nama. Saya harus berjuang menampilkan pencapaian dan passion hidup saya dalam bentuk presentasi memikati hati juri. Tetapi, dari perjalanan ini, saya menemukan pelajaran berharga tentang untung, beruntung, dan keberuntungan.
  Dari salah seorang pengajar di perjalanan kreatif itu, saya mendapat catatan menarik. Sama sekali bukan materi pokok dari kelas yang diajarinya, yang tentang problem solving melalui gambar. Namanya Ai Yat Goh, perempuan setengah baya, nyaris 60 tahun. Pensiunan banker senior yang akhirnya jadi dosen. Warna kulit dan mata sipit ternyata berbuah diskriminasi. Pendapatan. Sebagai warga lokal singapura, harga satu jam mengajarnya ternyata cuma seperempat dari harga para dosen ekspatriat yang berambut pirang, bermata keberuntungan, dia memutuskan menciptakan keberuntungan.
   Katanya, diantara total populasi manusia di bumi, hanya 2-3 persen yang lahir berutung. Mereka yang nasibnya ala si Untung Bebek ini supermioritas.  Lainya adalah mereka yang harus berjuang mencipakan keberuntungan.
  Masih kita Ai Yat, Kombinasi resep keberuntungan adalah berada di tempat yang tepat, di waktu yang tepat. Tapi, bagaimana caranya menangkap momentum waktu dan tempat? Katanya sederhana saja: selalu berada di sana setiap saat. Jadi persisten dan konsisten. Keras kepala untuk selalu siap sedia menangkap momentum.
  Lalu, saya mulai berpikir, ilmu pasti keberuntungan mungkin memang di situ. Karena kita bukan jenis yang lahir beruntung, kitalah yang harus menciptakan keberuntungan. Terus dan terus mencoba, jangan pernah absen. Sebab, bisa jadi saat kita memutuskan absen berusaha, keberuntungan sedang berbaik hati kepada kita.
  Jadi sekali lagi, ilmu pasti menangkap keberuntungan sederhana saja: keras kepala dan keras niat. Jalani usaha dengan rajin-rajin menyebut nama-Nya dalam setiap langkah sambil berharap Tuhan sedang berminat memberikan berkah-Nya. (*)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar