Senin, 17 Februari 2014

PETRUK DADI RATU

Dalam dua pekan ini, bisa dipastikan seluruh indra Anda dikepung gelombang Vicky-isasi. infotaniment, yang secara judul seharusnya menghibur, seperti panen bahan berita. Menyenangkan diawal, guilty pleasure, tetapi memuakkan saat overdosis.

DIKIRANYA penonton TV di rumah sungguh ingin tahu cerita ibu dan adik-adik Vicky, teman-teman SMA-nya, bahkan lurah desanya. Lagi-lagi, simbol " ndesit" yang dirayakan berlebihan. Popularitas instan yang lagi-lagi salah jalur.
  Dilihat dari sisi berbeda, mungkin ini pengalihan isu. Rakyat kita jadi lupa absenya tempe-tahu di meja makan.
Menertawakan derita orang lain, kebodohanya, dan juga kemalanganya. Ternyata, menghibur.
  Tapi, saya tak hendak bicara tentang bahasa Vicky yang serba inggil dan canggih itu. Saya cuma ingin menganalisis kenapa Vicky yang Don Juan kelas kambing ini bisa begitu mulus menipu gadis-gadis penyanyi dangdut yang tak kalah mulus.
  Kalau diperhatikan baik-baik, sebenarnya Vicky ini penhjahat kelamin berkelas standar dalam modus, terlebih wajah.
  Coba kita analisis apa sih senjata utama Vicky memperdayai para biduan itu? Pertama, jurus status sebagai pengusaha sukses di bidang-bidang seksi, batu bara dan minyak. Status ini kadang berganti judul. Ditambah jurus ketiga, casciscus bahasa asing yang terdengar canggih. Walau kalau diperhatikan, sama sekali nggak ada canggih-canggihnya.
  Nah, kenapa jurus diwajah standar ini berhasil memperdaya? Tentu tak lepas dari cermatnya Vicky memilih korban. Dia sadar jurus dan modus itu hanya behasil dengan syarat dan ketentuan tertentu.
  Sadar tak mampu memperdayai gadis-gadis urban macam Raisa, dia secara cermat memilih biduan dang-dut sebagai sasaran utama.
Maka, kita wajib mengganti jajaran korbannya, Zazkia Gotik, Deasy Kitaro, Ade Nurul, Camel Petir, dan kawan-kawan adalah para "pejuang kelas sosial dan ekonomi". Berlaku seperti hukum supply and demand: Pria (mengaku) mapan dan perempuan pencari kemapanan.
  Jika Amerika punya American Dream yang memastikan semua orang punya kesempatan melompati kelas sosial dan ekonomi tanpa melihat latar belakangnya, di Indonesia mimpi ini mengalami pendangkalan. Bahwa mimpi punya mobil mewah dan dua pintu, rumah mewah bertingkat, tas Hermes asli kulit mulus, wajah cantik, badan singset, dan sikap manis manja sebagai mata uang pengganti.
  Ada pendangkalan dan pengesampingan kerja keras. Tanpa mengecilkan perjuangan mereka untuk memaksimalkan penampilan, tak bisa dimungkiri, pria mapan berpendidikan luar negeri tentu bonus manis sekaligus eskalator ekspres dalam perjalanan mewujudkan mimpi.
  Kemapanan instan tentunya godaan yang sudah ditolak, bukan? Pendidikan minim ditambah intimidasi kelas sosial dan kemapanan sering memendekkan pikir. Tak heran, digombali sedikit dengan bumbu bahasa anggih, mereka sukarela klepek-klepek. Tanpa sadar, ambisi berpadu keluguan adalah menciptakan jebakan maut untuk diri sendiri.
  Materialisme membutakan dan pada banyak hal melonggarkan nilai-nilai. Para perempuan ini lupa bahwa semua hasil butuh usaha.
  Saya ingat satu cerita wayang dari buku Yang Kung saya , Petruk yang punakawan eh tiba-tiba jadi ratu. Tapi, semua yang instan pasti sementara. Semua rezeki dan kemapanan, sialnya, sudah dijatah nasib. Dan, Tuhan tidak besama mereka yang menggampangkan hal-hal, menghalalkan yang tak halal. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar