Senin, 17 Februari 2014

MANAJEMEN DOSA

   TULISAN ini nggak orisinil-orisinil amat karena terinspirasi tulisan seseorang dimedia alternatif berbasis web. Penulisnya seorang gay, menulis tentang 10 hal yang mungkin perlu diketahui tentang gay yang muslim di Indonesia.
    Ilustasi awalnya menarik, tentang sebuah acara makan-makan. Dia di sindir masih kekeuh nggak makan babi. Sementara, dia memilih jalur hidup alternatif dengan mengencani gender sejenis. Ditulis kalau tentang timabang-menimbang, bisa dikatakan makanan haram lebih ringan timbanganya daripada zina dengan yang sejenis pula.
    Kalau berbicara tentang dosa, apa masih perlu menjaga diri dari yang kecil-kecil, sementara menjalankan dosa yang lebih besar? Apa ini murni perkara menjaga keseimbangan timbangan, sehingga pantas masuk surga atau neraka?
    Rasanya manusia adalah mahkluk yang hobi pilih-pilih. Memilih ibadah yang mudah-mudah, memilih dosa yang enak-enak, memilih pahala yang murah-murah. Bukankah?
Tentang dosa, tentu sekali lagi, bukan urusan kita. Menungsa mung nrima ngelakoni. Berbuat dan berbuat, sebisanya tanpa pamrih, berbalas suga atau neraka. Tapi, kita ternyata punya tendesi untuk membikin pembolehan -pembolehan.
    Dosa-dosa apa saja sih yang lumrah dipilih untuk dilakukan? Berdusta. Berkata berbohong. Entah untuk motif atau maksud apa, entah untuk motif atau maksud apa, entah untuk motif atau maksud siapa. Yang pasti, ada keuntungan yang ingin ditangguk. Ada keinginan untuk manipulasi keadaan.
    Haram kedua yang lumrah adalah urusan perut. Banyak jenis makanan dan minuman yang dilarang agama tertentu. Tapi, sayangnya, selalu berlaku bahwa makin terlarang makin menantang. Ada nilai subjektif yang bicara. Kadang yang haram memang sungguh lebih nikmat. Tapi, kadang lidah berdusta bahwa suatu hal terasa lebih nikmat karena nilai telarangnya.
    Ada kepuasan setelah menerabas aturan, mengadali aturan. Dari lingkungan terdekat saya, yang terdii atas singgungan minuman yang beralkohol, kecuali dengan alasan kesehatan. Dari sisi makanan pun tak jauh berbeda.
Makanan terlarang kerap mampir ke lidah. Kadang, ironisnya, dokter penyakit lebih punya kuasa melarang daipada Tuhan. Manusia lebih takut kolestrol dan stroke daripada masuk neraka.
    Dosa kelamin, dalam aneka derakjat. Mulai menyentuh yang belum halal hingga menyentuh yang dilarang dan terlarang. Ini dosa yang paling nikmat, paling melenakan. Kadang pula manusia berburuk sangka pada Tuhan.
"Kenapa sih yang enak-enak selalu yang di larang?"
    tanpa dipromosikan, makin banyak perempuan yang melepas keperawanan jauh sebelum menikah, makin banyak yang punya anak tanpa ikatan penikahan, makin banyak yang berselingkuh dengan istri-suami orang.
    Sebuah petanyaan menarik menggelitik saya. Saat urusan kelamin saa primernya dengan uusan makan, mengapa diatur sebegitu susah dengan begitu banyak aturan?
yang saya tahu, manusia melakukan manajemen dosa , memilih dan memilah. Menimbang kekuatan mental untuk mengontrol diri dan kemampuan. Kadang pula manusia melemahkan diri dengan sukarela. Kadang dititik ekstrem, mereka memilih menghindari yang ringan-ringan, tapi malah melakuakan yang berat-berat, yang efeknya tidak cuma ke pribadi, tapi menyangkut jauh lebih banyak orang.
    Dosa-dosa personal adalah dosa-dosa yang mengikat pribadi-pribadi pada hal-hal yang paling pribadi. Mungkin inti pengaturan dosa adalah mendidik untuk mengendalikan dii dari hal-hal kecil. Dengan demikian, manusia tidak gegar menghadapi godaan untuk hal-hal yang lebi besar.
    Manusia tenyata tak pernah ikhlas menjalani. Ada harapan, masih ingin masuk surga, setidaknya menyamakan berat timbangan dosa dan pahala. Masih berbuat dosa sih, tapi nggak banget-banget gitu. Misal ada 100 jenis dosa, setidaknya nggak kebangetan melakukan seratus-seratusnya. Paling tidak, Cuma melakukan 98-99nya.
    tapi, sayangnya, manusia selalu punya 1.001 alasan. Mungkin kita terbiasa berpikir jangka pendek. Surga dan neraka adalah ide sureal, sebuah ide. Nikmat duniawi lebih nyata daripada janji tentang akhirat.
    Tapi, sekali lagi, siapa saya? Andalah yang menentukan buku catatan Anda masing-masing. (*) 

    TULISAN ini nggak orisinil-orisinil amat karena terinspirasi tulisan seseorang dimedia alternatif berbasis web. Penulisnya seorang gay, menulis tentang 10 hal yang mungkin perlu diketahui tentang gay yang muslim di Indonesia.
    Ilustasi awalnya menarik, tentang sebuah acara makan-makan. Dia di sindir masih kekeuh nggak makan babi. Sementara, dia memilih jalur hidup alternatif dengan mengencani gender sejenis. Ditulis kalau tentang timabang-menimbang, bisa dikatakan makanan haram lebih ringan timbanganya daripada zina dengan yang sejenis pula.
    Kalau berbicara tentang dosa, apa masih perlu menjaga diri dari yang kecil-kecil, sementara menjalankan dosa yang lebih besar? Apa ini murni perkara menjaga keseimbangan timbangan, sehingga pantas masuk surga atau neraka?
    Rasanya manusia adalah mahkluk yang hobi pilih-pilih. Memilih ibadah yang mudah-mudah, memilih dosa yang enak-enak, memilih pahala yang murah-murah. Bukankah?
Tentang dosa, tentu sekali lagi, bukan urusan kita. Menungsa mung nrima ngelakoni. Berbuat dan berbuat, sebisanya tanpa pamrih, berbalas suga atau neraka. Tapi, kita ternyata punya tendesi untuk membikin pembolehan -pembolehan.
    Dosa-dosa apa saja sih yang lumrah dipilih untuk dilakukan? Berdusta. Berkata berbohong. Entah untuk motif atau maksud apa, entah untuk motif atau maksud apa, entah untuk motif atau maksud siapa. Yang pasti, ada keuntungan yang ingin ditangguk. Ada keinginan untuk manipulasi keadaan.
    Haram kedua yang lumrah adalah urusan perut. Banyak jenis makanan dan minuman yang dilarang agama tertentu. Tapi, sayangnya, selalu berlaku bahwa makin terlarang makin menantang. Ada nilai subjektif yang bicara. Kadang yang haram memang sungguh lebih nikmat. Tapi, kadang lidah berdusta bahwa suatu hal terasa lebih nikmat karena nilai telarangnya.
    Ada kepuasan setelah menerabas aturan, mengadali aturan. Dari lingkungan terdekat saya, yang terdii atas singgungan minuman yang beralkohol, kecuali dengan alasan kesehatan. Dari sisi makanan pun tak jauh berbeda.
Makanan terlarang kerap mampir ke lidah. Kadang, ironisnya, dokter penyakit lebih punya kuasa melarang daipada Tuhan. Manusia lebih takut kolestrol dan stroke daripada masuk neraka.
    Dosa kelamin, dalam aneka derakjat. Mulai menyentuh yang belum halal hingga menyentuh yang dilarang dan terlarang. Ini dosa yang paling nikmat, paling melenakan. Kadang pula manusia berburuk sangka pada Tuhan.
"Kenapa sih yang enak-enak selalu yang di larang?"
    tanpa dipromosikan, makin banyak perempuan yang melepas keperawanan jauh sebelum menikah, makin banyak yang punya anak tanpa ikatan penikahan, makin banyak yang berselingkuh dengan istri-suami orang.
    Sebuah petanyaan menarik menggelitik saya. Saat urusan kelamin saa primernya dengan uusan makan, mengapa diatur sebegitu susah dengan begitu banyak aturan?
yang saya tahu, manusia melakukan manajemen dosa , memilih dan memilah. Menimbang kekuatan mental untuk mengontrol diri dan kemampuan. Kadang pula manusia melemahkan diri dengan sukarela. Kadang dititik ekstrem, mereka memilih menghindari yang ringan-ringan, tapi malah melakuakan yang berat-berat, yang efeknya tidak cuma ke pribadi, tapi menyangkut jauh lebih banyak orang.
    Dosa-dosa personal adalah dosa-dosa yang mengikat pribadi-pribadi pada hal-hal yang paling pribadi. Mungkin inti pengaturan dosa adalah mendidik untuk mengendalikan dii dari hal-hal kecil. Dengan demikian, manusia tidak gegar menghadapi godaan untuk hal-hal yang lebi besar.
    Manusia tenyata tak pernah ikhlas menjalani. Ada harapan, masih ingin masuk surga, setidaknya menyamakan berat timbangan dosa dan pahala. Masih berbuat dosa sih, tapi nggak banget-banget gitu. Misal ada 100 jenis dosa, setidaknya nggak kebangetan melakukan seratus-seratusnya. Paling tidak, Cuma melakukan 98-99nya.
    tapi, sayangnya, manusia selalu punya 1.001 alasan. Mungkin kita terbiasa berpikir jangka pendek. Surga dan neraka adalah ide sureal, sebuah ide. Nikmat duniawi lebih nyata daripada janji tentang akhirat.
    Tapi, sekali lagi, siapa saya? Andalah yang menentukan buku catatan Anda masing-masing. (*) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar