Senin, 17 Februari 2014

BERAGAMA KARENA MINDER

   Saya telihat diskusi seru dengan vokalis band rock hari itu. Awalnya,lagi-lagi adalah sebuah twit. Pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan dan ketuhanan selalu menarik untuk saya. Menurut saya nggak pernah ada habisnya, nggak pernah basi, sekaligus nggak pernah pasti. Serbarelatif dengan pintu-pintu kemungkinan selalu bisa dibuka-ditutup.

    saya pernah menulis sesuatu tentang sesuatu yang kurang lebih mirip sebelumnya di Halau Galau. Tentang apakah manusia tetap berbuat baik jika surga dan neraka ternyata tidak ada? Apakah manusia tetap berbuat baik tanpa pamrih? Apakah manusia tak akan berhitung untung-rugi? Apakah dunia lebih baik jika manusia tak di iming-imingi pahala? Atau, mungkinkah dunia jadi lebih kisruh karena semua oang cuma mementingkan diri sendiri dan nggak peduli pada kepentingan orang lain?
    Disekitar waktu yang sama dengan diskusi Twitter itu, saya meonton sebuah film komedi romantis karya sutradara Ricky Gervais.
Ceritanya sederhana, seorang lelaki biasa-biasa saja, mukanya biasa-biasa saja, dan dompetnya tak kalah biasa-biasa saja naksir pada gadis cantik. Sebagai lazimnya perempuan cantik, tentu si gadis pasang harga. Ternyata di Hollywood pun berlaku premis Jawa, "lanang menang milih, wedok menang nolak".
    Judul film itu mungkin bisa memberikan gambaran, The Invention of Lying. Di film yang dibuat pada 2009 tersebut dceritakan, seluruh warga sebuah kota jujur. Semua disampaikan blaka sutha, apa adanya, tanpa ditimbang-timbang, dipikir-pikir.
    Warga kota pun akhirnya kuat mental karena paling menyakitkan dikuping dan dihati. Sampai suatu hari, si lelaki, yang diceritakan sebagai pembuat film yang kepepet, tak sengaja berbohong. Ternyata berbohong membebaskan diri dari masalah dan membuat hidupnya lebih mudah. Nenek si lelaki bisa menghadapi kematianya dengan senyum lebar dan bebas ketakutan saat dia didongengi tentang keindahan surga. Otak saya tergelitik, bagaimana jika surga yang kita harap-harap cemaskan itu ternyata hanya dongeng?
    Kali ini saya meminta izin untuk sejenak melepaskan pembicaraan ini dari apa yang kita dengar dari kitab-kitab dan segala doktrinya. Saya ingin membebaskan diri dengan pertanyaan-pertanyaan "bagaimana seandainya". Kenapa sih saya beragama? Tentunya karna saya tak tahu rasanya tidak beragama.
    Apa sih gunanya saya beragama? Saya berpikir lama-lama. Dalam-dalam. Sungguh saya nggak punya jawaban tepat atau paling tidak mendekati memuaskan hati kecil saya sendiri. Mungkin karena takut. Tahu kan hebatnya clerical bullying?
Tindakan penekanan tersistem atas nama agama dan Tuhan, tentang benar-salah, lebih benar daripada yang lain, dan lain-lain ? yang beragama, tapi minoritas saja bisa hidup susah dan terlunta-lunta. Dibakari rumahnya, di rongrong rumah ibadahnya, dilempari ritualnya, apalagi yang memilih tidak beragama kan?
    Tapi, apa iya karena ketakutan saja? Saya timbang-timbang, mungkin karena saya takut, tapi jenis ketakutan yang berbeda. Saya beragama karena perlu tambahan percaya diri, saya ternyata nggak cukup percaya diri dengan kekuatan diri sendiri. Saya tenyata cukup minder kalau ternyata semua jalan hidup saya sepenuhnya ada di tangan saya sendiri.  Saya belum cukup pede menghadapi kenyataan bahwa ternyata saya yang mengontrol kehidupan ini dan menentukan tak ada kekuatan serbahebat, serbakuat, serbaajaib, yang bisa menyelamatkan saya.
    Seandainya surga dan neraka tidak pernah ada, apakah saya tetap beragama? Mungkin, ya. Hidup saya ini sederhana. Untuk saya yang hidup hanya untuk hari ini saja, yang sok carpe diem ini, yang lebih penting dipikirkan adalah yang terjadi hari ini, titik ini. Pilihan beragama saya lagi-lagi ya karena alasan praktis-praktis saja.
    Ternyata saya cuma mahkluk minder rendahan yang membutuhkan agama dan Tuhan. saya butuh diberi harapan, dititik paling jatu akan ada kekuatan untuk berdiri, di lubang paling gelap akan ada ujung cahaya. Saya memilih kalah dan percaya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar