Senin, 17 Februari 2014

SETAN KREDIT

SAUDARI yang budiman, apakah Anda termasuk konsumen yang mengimani premis tersebut? Membeli hal-hal yang sebenarnya tidak Anda butuhkan dengan berutang untuk menciptakan ilusi dan cerita diri? Kalau jawaban Anda "Ya!", selamat datang di Kelompok Risiko Tinggi Terjerat Setan Kredit (KRT2SK). Saya salah seorang angggota senior yang sama kerasnya berjuang untuk keluar dari keanggotaan.
  Memang betul sih lebih aman untuk membeli sesuatu dengan uang tunai. Tapi, hasrat belanja permisif punya bisikan di kepala yang konsisten, "Kalau bisa kredit, kenapa mesti tunai?" Setelah bertahun-tahun membayar bunga tanpa mengurangi pokok utang, akhirnya saya sepenuhnya menyadari bahwa lebih bijak membeli barang sesuai dengan batas kesanggupan kita. Ditambah lagi, hati nggak harus digadaikan ke rasa deg-degan karena memakai barang yang belum lunas. Gimana ceritanya tuh kalau cicilan belum selesai, eh barangnya sudah di almarhum. Nyesek!
  Bank juga makin hari makin menjanjikan gula-gula kenikmatan. Ingat kan gimana susah dan ribetnya kalo kita ingin mentransfer uang? Harus ke bank, antri di loket, dan mengisi secarik kertas yang bernama slip transfer? Tinggal utak-atik HP atau keyboard laptop, kita bisa langsung melakukan transaksi perbankan tanpa harus mengangkat pantat dari kursi kerja.
  Termasuk, urusan kartu kredit yang janjinya memudahkan banci belanja kita. Kenyataanya, hal itu memudahkan banci belanja merogoh kantong lebih dalam. Semuanya di kemas dengan paket menarik, mulai promo cicilan 0% hingga promo cash back ynag menjadikan kita susah untuk tidak konsumtif.
  Tapi, rasanya masyarakat Indonesia nggak berkeberatan dengan godaan belanja kompulsif dan konsumtif itu. Nyatanya, menurut survei Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, hingga Januari 2013 ada 14,7 juta pengguna. Jumlah tersebut naik hampir 50 persen jika di bandingkan dengan 2007. Hal itu kemudian berbanding lurus dengan jumlah transaksi yang terjadi pada 2012 dan 2013 yang ternyata mencapai Rp 182,6 triliun. Data yang sangat spektakuler tersebut bisa jadi bukti nyata kenaikan status dan jumlah belanja yang terjadi di Indonesia.
 Ini nih jerat nista kartu kredit yang sering menjerumuskan para newbie alias pengguna kartu amatir.

"Bayar Minuman Aja Dulu!"
   Bayar minuman dan bunga pinjam saja, makin lama pkok pinjaman juga yang berbunga dan makan besar.

"Nggak ada duit Nih, Tapi kan masih ada kartu kredit"
  Kartu kredit bukan dana cadangan, kecuali sangat kepepet. Tapi, ingat kartu kredit memperbesar potensi penambahan utang yang berbunga dan bisa menyulitkan kita di kemudian hari.

"Ah, iuran tahunan kan bayarnya belakangan"
  Kartu kredit dipakai nggak dipakai akan kena iuran tahunan. Jangan sampai sok santai karena nggak merasa pernah pakai kartu, eh ujung-ujungnya punya tunggakan iuran tahunan yang berbunga-bunga.

"Bunganya kecil kok, kan cuma 2,5 persen."
  Bunga maksimum dar sebuah kartu kredit adalah 2,5 persen per bulan. Kecil sih kalau dilihat sekilas, tapi kalau bunga-berbunga? Ya sama aja!
  Untuk segera lulus dari KRTJSK, saya memutuskan belajar dari Ligwina Hananto, financial planner dari QM Financial. Ini cara pintar dan benar pakai kartu kredit.

Waspada Limit
  Perhatikan limit kartu yang dimiliki. Ada potensi nama baik sebagai sosialita runtuh dimeja kasir.

Pakai berapa, bayar berapa?
  Pakai kartu kredit dengan bijak, nggak lebih dari 20 persen total gaji.

Jangan utang!
  Bayar seluruh tagihan Anda tiap bulan, setidaknya sebagian besarnya. Bayar minuman sama dengan jadi sukarelawan terlihat utang dengan bunga tinggi. Kendalikan diri, stop pakai kartu kredit sampai seluruh tagihan Anda lunas.

Dua kartu cukup
   Seperti KB, dua saja cukup. Dua adalah batas maksimal nggak pusing putar otak membayar tagihan.
Sayangi dan selamatkan diri selagi bisa dari teror telepon, bahkan debt collector yang suka pamer kekuatan untuk menagih utang. Bijak belanja sesuai dengan kebutuhan dsn kemampuan, toh malaikat cuma menghitung pahala Anda, bukan berapa pasang Manolo Blahnik yang Anda punya. (*) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar